Senin, 30 Mei 2011

Al Qur'an Sumber Pengetahuan

Bismillahirrohmaanirrohiim
Assalaamualaykum Warahmatullaahi Wabarokaatuh.

Alhamdulillaahil ladzi anzalal Qur’ana hudan lin naas.
Asyhadu anlaa ilaaha illa Allah, Wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna Muhammadan Nabiyyuhu wa Rasuuluh.
Allahumma sholli wa sallim ‘alaa sayyidinaa Muhammadin, wa ‘alaa aalihi washahbihi wasallim.
‘amma ba’du

Yang saya hormati, Bapak dan Ibu guru, serta para hadirin sekalian.
Alangkah indahnya hari ini jika kita senantiasa memanjatkan puji serta syukur kita kehadirat Allah SWT. Tuhan yang menurunkan Al Qur’an, sebagai mukjizat terbesar Nabi-Nya, dan petunjuk bagi hamba-hambaNya yang setia dan senantiasa mengharap keridhoanNya.
                Sholawat serta salam tercurah kepada manusia terbaik sepanjang masa, teladan sempurna umat manusia, ialah Nabi Besar Muhammad SAW.
                Hadirin yang dimuliakan Allah SWT!
                Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan pidato yang berisi tentang kekaguman saya terhadap kitab suci ummat Islam, yaitu Al Qur’an. Kekaguman saya dan mungkin kita semua terhadap Al Qur’an tentu memiliki alasan yang kuat. Selain dikarenakan susunan kata-kata nan indah, Al Qur’an juga memiliki banyak pesona lainnya, yang amat sayang jika kita menyia-nyiakannya.
                Al Qur’an adalah penerang bagi seluruh ummat manusia, serta pelajaran bagi semua orang yang bertakwa. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT Surah Al Imran ayat 138, yang berbunyi :


                (Al Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.
                Namun sayang keberadaan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi ummat Islam seolah tidak dianggap. Sudah tidak terhitung jumlah orang yang belum mampu membaca kalam Ilahi tersebut, apalagi yang dapat memahami dan menggali setiap isi dari Al Qur’an tersebut.
                Hadirin yang dimuliakan Allah SWT !
                Allah SWT dalam firman-Nya sangat menghargai kedudukan ilmu, dan memuliakan orang yang memiliki ilmu. Sebaliknya, Allah SWT sangat tidak suka orang yang tidak mau berfikir. Tercatat, setidaknya 53 ayat dalam Al Qur’an menggunakan kata afala ta’kilun yang artinya apakah engkau tidak berfikir, dan kata lain seperti la’allakum tafakkaruun yang artinya agar engkau memikirkannya. Kata-kata tersebut adalah teguran kepada manusia yang tidak mau menggunakan akalnya untuk menyadari kebesaran Allah SWT, sehingga mereka terjebak dalam kebodohan yang berujung kepada kekufuran.
                Sungguh banyak ayat dalam Al Qur’an yang mengungkapkan kebesaran Allah SWT melalui penciptaannya. Menurut Syaikh Tantawi dalam kitab tafsirnya yang berjudul Al Jawahir, terdapat lebih dari 750 ayat yang berkaitan dengan alam semesta. Subhanallah!
                Hadirin yang dimuliakan Allah SWT !
                Ilmuwan-ilmuwan muslim pernah mencatatkan tinta emas dalam sejarah dunia pengetahuan dengan nama-nama seperti Al Biruni seorang dokter yang pakar fisika, Jabir ibnu Hayyan seorang ahli kimia, serta Al Khawarizmi seorang ahli matematika yang juga pendiri rumus Al Jabar, dan masih banyak nama-nama lainnya.
                Keberhasilan mereka disebabkan oleh keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mencintai orang-orang yang berilmu dan menjadikan AlQur’an sebagai sumber inspirasi utama dari pengetahuan.
                Akhirnya, kita semua berharap, agar Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang dapat memanfaatkan Al Qur’an sebagai sumber pengetahuan, dan penuntun kita hingga selamat di dunia dan akhirat.
                Mohon maaf apabila terdapat kekeliruan dan kesalahan dalam ceramah saya.
                Subhanakallahumma wabihamdika Asyhadu an laa ilaaha illa Anta wa atuubu ilayk
                Wassalaamualaykum Warahmatullahi Wabarokaatuh.

Pembinaan Keluarga (Tafsir Surah Luqman Ayat 16-17

PEMBINAAN KELUARGA
AL QUR’AN SURAH LUQMAN AYAT 16-17
A. PENDAHULUAN
    Islam merupakan agama yang komprehensif dan sempurna. Kesempurnaan itu juga tergambar jelas dari kitab suci yang diturunkan Allah SWT melalui perantara malaikat Jibril kepada manusia terbaik sepanjang masa, ialah Nabi Muhammad Saw. yaitu Al Qur’an.
    Ke-komprehensif-an Al Qur’an terbukti dari pembahasannya yang tidak hanya menekankan aspek-aspek ibadah semata namun pengamalan-pengamalan muamalah ditambah berbagai pengetahuan seperti, sejarah, sains, politik, sastra dan sebagainya yang terdapat di dalam kitab indah nan menawan bernama Al Qur’an.
    Salah satu figur yang namanya diabadikan dalam Al Qur’an adalah Luqman al Hakim. Menurut beberapa Mufassir, Luqman al Hakim adalah orang yang sangat bijaksana. Perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan ulama terjadi ketika ada sebagian di antara mereka yang menyatakan bahwa Luqman al Hakim adalah seorang nabi. Namun pendapat lain yang mengatakan bahwa Luqman al Hakim bukanlah seorang nabi, melainkan hanyalah seseorang yang diberikan oleh Allah SWT hikmah. Gambaran lebih detail mengenai sosok Luqman al Hakim lebih lanjut adalah ia berasal dari suatu negeri dari Afrika dan berprofesi sebagai tukang kayu. Dan dinamakannya surat Luqman dalam Al Qur’an, dikarenakan surat itu mengandung berbagai wasiat dan nasehat yang disampaikan Luqman kepada anaknya.
    Nasehat-nasehat yang diutarakan Luqman al Hakim kepada anaknya sengaja diabadikan Allah SWT dalam Al Qur’an sebagai pengingat kepada manusia guna menjadi makhluk yang memiliki aqidah kuat, senantiasa bersyukur dan bertakwa dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
    Makalah ini membahas tentang ayat keenambelas dan tujuhbelas dari surah Luqman. Mulai dari beberapa penafsiran ulama, munasabah dengan ayat sebelumnya, dan pesan dari ayat tersebut yang berkaitan dengan dunia pendidikan.
 B. DEFINISI JUDUL
Secara bahasa, pembinaan berasal dari asal kata bina, yang memiliki arti pertama, mendirikan, membangun. Kedua, memelihara, mengembangkan dan menyempurnakan. Sedangkan kata pembinaan memiliki arti hal cara, atau hasil pekerjaan membina.  Sedangkan keluarga berasal dari bahasa sanskerta yaitu kula = famili; warga: anggota; dan kata sekeluarga memiliki arti satu famili (ibu-bapak dan anak-anak).  Dan dalam bahasa Inggris, kata bina disebut building, construction. Sedangkan kata pembinaan sendiri diterjemahkan menjadi founding, establishment, construction. Dan jika ditambah dengan kata lain seperti kata mental, menjadi character building.   Namun, jika kata pembinaan dapat disejajarkan dengan kata pembinaan yang dalam bahasa Inggris disebut coaching, maka definisi kata tersebut menurut Julie Kennedy adalah “something that takes you from where you are now to where you want to be” (sesuatu yang dapat membawa kita dari tempat kita berada sekarang ke tempat yang kita inginkan).  Sedangkan kata keluarga dalam bahasa Inggris disebut family yang menurut Oxford Dictionary berarti pertama, parents and children. Kedua children. Ketiga persons descended from a common ancestor. Keempat, group of living things or of languages. 
Dalam bahasa Arab, padanan kata yang sesuai dengan kata pembinaan adalah kata تهذيب atau kata تأديب/ , تربية yang berarti pendidikan atau pengajaran. Dan kata تهذيـــــــبــي memiliki arti bersifat / berhubungan dengan pendidikan, edukasional.  Sedangkan kata keluarga dalam bahasa Arab diterjemahkan  sebagai أسرة  atau kata أهل .
Secara istilah, pembinaan dapat berarti proses membina/mendidik atau mengajar. Sedangkan keluarga menurut Dr. Hussaini Abdul Majid, dkk. Terdiri dari orang tua dan anak-anak dan dalam hati orangtua tersebut bersemayam rasa cinta yang tak pernah putus. Cinta tersebut adalah cinta yang diberikan Allah SWT kepada mereka.
Dari berbagai definisi di atas, pemakalah mencoba mengambil sebuah kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan pembinaan keluarga adalah proses membina,mengajar atau mendidik diantara anggota keluarga. Dan pembinaan keluarga yang terdapat dalam surah Luqman ini adalah proses pembinaan yang dilakukan oleh sang ayah, Luqman al Hakim terhadap anaknya. 

C. AYAT DAN TERJEMAH
  Artinya:
“(Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (Luqman : 16)
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”  (Luqman : 17)

D. MUNASABAH
Pada ayat sebelumnya, Allah SWT berfirman dalam surah Luqman ayat 14 dan 15 yaitu :

Artinya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman : 14)
Artinya:
“ Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman : 15)
    Ayat di atas adalah ayat keempatbelas dan kelimabelas memiliki hubungan terhadap ayat keenambelas dan tujuhbelas yang dibahas dalam makalah ini. Ayat keempatbelas meminta kita untuk senantiasa bersyukur kepada Allah SWT dan berterima kasih kepada kedua orang tua kita. Allah SWT menjelaskan bagaimana perjuangan seorang ibu pada saat mengandung kita dengan kondisi yang semakin lama semakin melemah, dan setelah itu ia menyusui kita hingga berusia dua tahun. Akan tetapi pada ayat kelima belas Allah SWT juga memberikan sebuah penegasan ketika kedua orang tua kita meminta kita untuk menyekutukanNya, maka kita tidak diizinkan untuk mengikutinya. Sampai disini gugurlah kewajiban kita untuk taat kepada kedua orang tua. Ini disebkan persoalan aqidah lebih diutamakan Allah SWT dibanding dengan persoalan yang lainnya. Namun, perbedaan yang timbul tersebut tidak serta-merta menjadikan diri kita tidak berlaku baik terhadap kedua orang tua. Walaupun orang tua kita memiliki keyakinan yang berbeda, Allah SWT tetap meminta kita untuk senantiasa memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.
    Dalam ayat di atas Allah SWT juga memberikan pemahaman aqidah yang harus ditanamkan kepada anak adalah sifat senantiasa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikanNya kepada kita. Rasa syukur kepada Allah SWT harus didahulukan dari rasa syukur kepada manusia, termasuk kepada kedua orang tua. Artinya, sekalipun orang tua sangat berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita sejak dalam kandungan, rasa syukur kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada Allah SWT. Sebab, tempat kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah SWT.
    Kaitannya dengan ayat selanjutnya adalah pada akhir ayat kelimabelas, Allah SWT menjelaskan bahwa hanya kepadaNya semua akan kembali. Dan Allah SWT kelak akan memberikan ‘laporan’ tentang apa-apa yang telah kita kerjakan selama hidup di dunia ini. Hal ini juga sesuai dengan ayat ke enam belas yang pada intinya menegaskan bahwa perbuatan sekecil apapun, baik itu kebaikan atau keburukan, maka Allah SWT akan menghadirkannya kepada kita pada hari kiamat kelak sebagai balasan kepada kita.
Selain itu, dalam surah Luqman ayat ke empatbelas dan limabelas, Allah SWT memberikan pelajaran bagaimana seorang anak harus berbakti kepada kedua orang tua. Dan ayat keenambelas dan tujuhbelas menjelaskan bagaimana upaya orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

E. TAFSIR AYAT
Ayat ke enambelas
Artinya :“ (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (Luqman : 16)
    Berikut pendapat para Mufassir mengenai ayat di atas:  
Di dalam tafsir Qurtuby, ayat di atas menggambarkan percakapan antara Luqman al Hakim dengan anaknya. Luqman al Hakim menjelaskan kepada anaknya bagaimana kemampuan kudratullah / kadar kekuasaan Allah SWT. Selanjutnya Luqman al Hakim juga mencoba memberi pemahaman bahwa setitik debu tersebut tidak merasa dapat memberikan sumbangsih beban dalam sebuah timbangan. Selanjutnya, jika manusia diberi rizki oleh Allah SWT walaupun seberat biji sawi / sebutir pasir / atom, di tempat-tempat yang telah ditentukanNya, pasti Allah SWT akan memberinya/tidak mendustainya. Dan janganlah kita terlalu memaksakan atau menjadi makhluk yang sangat ambisius dalam mencari rizki yang membuat kita lalai terhadap kewajiban-kewajiban kita kepada Allah SWT.  
    Sedangkan Ibn Katsir menulis bahwa ayat di atas merupakan wasiat yang berupa cerita yang sangat bermanfaat yang terdapat dalam Al Qur’an melalui kisah Luqman al Hakim. Selanjutnya, ayat tersebut juga menceritakan ketika kita melakukan kezholiman atau kesalahan, walaupun itu hanya sebesar zarrah (atom) maka itu akan dihadirkan oleh Allah SWT pada hari kiamat dan diletakkan dalam timbangan keadilan. Dan Allah SWT akan membalas setiap kebaikan dengan kebaikan, begitupun sebaliknnya, Allah SWT akan membalas setiap perbuatan buruk yang dilakukan manusia dengan keburukan pula. Sebagaimana Allah SWT juga berfirman dalam surah Al Anbiya’ ayat 47 yang berbunyi :
Artinya:
“ Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan  jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al Anbiya’ : 47)
Selanjutnya Allah SWT juga berfirman dalam surah Al Zalzalah ayat 7 dan 8 yang berbunyi :
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al Zalzalah : 7-8)
    Lebih lanjut, Ibn Katsir juga berkata bahwa jikalau zarrah tersebut berada dalam sebuah penjagaan atau tertutup dan sekalipun berada di tengah padang pasir nan luas, atau hilang di langit atau di bumi. Maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan mendatangkannya. Karena tidak ada yang mampu sembunyi dari ilmuNya yang Mahahalus dan Mahatahu dan meliputi segala sesuatu. Sehingga seekor semut yang melata di malam yang gelap gulita-pun tak akan luput dari penglihatan-Nya.
    Syaikh Wahbah al Zuhaili menjelaskan bahwa seandainya kebaikan atau keburukan dan kedzholiman yang dilakukan menyamai sebutir pasir atau sebesar biji sawi, bahkan lebih kecil dari itu, dan terletak jauh atau sangat tinggi melebihi langit, atau sangat rendah melebihi perut bumi, maka Allah SWT akan hadirkan perbuatan tersebut pada hari kiamat di antara timbangan  timbangan amal manusia. Sebagaimana Allah SWT juga berfirman dalam surah Al Anbiya’ ayat ke 47 :
Artinya:
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al Anbiya’ : 47).
    Sementara itu Syaikh Nawawi al Bantani dalam kitabnya Marah Labid li Kasyfi Ma’na Qur’anil Majiid menjelaskan bahwa segala sesuatu yang yang dilakukan manusia dan sekecil apapun itu, serta dimanapun kita melakukan perbuatan itu, apakah di bumi atau di langit maka Allah SWT akan menghadirkannya dan menghitungnya. Sungguh ilmu Allah SWT meliputi segala sesuatu.
    Ayat keenambelas pada surah Luqman juga menjelaskan pemahaman mengenai sifat-sifat Allah SWT. di antaranya Allah SWT Mahakaya, Mahatahu dan Mahahalus, keyakinan terhadap sifat-sifat Allah SWT akan menjadikan anak memiliki dorongan yang kuat untuk menaati segala perintah Allah SWT. Kekuatan akidah merupakan landasan untuk menaati semua perintah Allah SWT berupa taklif hukum yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman akidah yang kuat kepada anak.
    Dari berbagai penafsiran mengenai ayat di atas, para mufassir umumnya memiliki pandangan yang sama. Kesamaan pandangan seperti segala perbuatan yang dilakukan manusia walaupun perbuatan itu tak lebih besar dari sebutir biji pasir atau sebutir biji sawi maka, maka Allah SWT akan menghadirkannya pada hari perhitungan amal, dan Allah SWT tidak akan merugikan hambanya sedikitpun. Ini menunjukkan sifat Mahakaya dan Mahateliti Allah SWT. Serta Allah SWT Mahamengetahui mengenai apa saja yang dilakukan oleh hambanya, baik itu di langit, di dalam sebuah batu atau di dalam bumi, maka Allah SWT akan membalas perbuatan hamba-hamba Nya pada hari kiamat kelak. Sungguh, ilmu Allah SWT meliputi segala sesuatu. Tak ada satu makhlukpun yang mampu bersembunyi dari pandangan-Nya, ketika seekor semut berjalan di atas batu yang hitam pada malam yang kelam, maka hal tersebut tak luput dari pandangan Allah SWT.   

Ayat Ketujuhbelas
Artinya:
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (Luqman : 17)
Pendapat Sebagian Mufassir mengenai ayat di atas:
Dalam ayat ketujuhbelas, Allah SWT melalui kisah Luqman al Hakim menggambarkan perintah yang seharusnya dilakukan oleh para orangtua dalam mendidik anaknya agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Ibn Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pertama, perintah melaksanakan sholat yang terdapat dalam ayat ketujuhbelas surah Luqman mencakup ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan ketepatan waktunya. Kedua, perintah amr ma’ruf nahy munkar berarti perintah melakukan kebajikan dan melarang dari setiap  perbuatan buruk. Ketiga, bersabar atas segala gangguan dan rintangan yang datang menghadang pada saat kita hendak melaksanakan amr ma’ruf nahy munkar. Karena menurut beliau, setiap orang yang hendak mengerjakan amr ma’ruf nahy munkar pasti akan mendapat rintangan, cobaan atau halangan, dan pada saat itulah dibutuhkan kesabaran.
Imam Mujahid dalam tafsirnya menjelaskan yang dimaksud dengan amr ma’ruf nahy munkar pada ayat ini adalah siapa yang mengajak orang untuk beriman kepada Allah SWT dan mencegah orang untuk menyembah kepada selain-Nya, maka itu dinamakan amr ma’ruf nahy munkar.
    Sedangkan Syaikh Wahbah Al Zuhaili mencoba menjelaskan ayat tersebut, pertama, yaitu setelah manusia terlepas dari segala sesuatu yang menyekutukan-Nya, dan takut akan ilmu dan ketentuan-Nya, dilanjutkan dengan mengerjakan perbuatan sholih seperti melazimkan untuk senantiasa meng-esa kan-Nya dengan jalan melaksanakan sholat dan ibadah lainnya hanya semata-mata karena Allah SWT dan penuh keikhlasan. Kedua, mendirikan sholat dengan sempurna yaitu senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan, syarat-syarat dan waktunya, karena sholat itu adalah tiang agama. Ketiga, dengan keimanan dan keyakinan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai sumber dari segala kebenaran. Sebagaimana membantu dalam menjauhkan diri dari perbuatan buruk dan kemunkaran, serta senantiasa mensucikan diri.
    Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa pekerjaan amr ma’ruf adalah perintah yang lain kepada jiwa agar mengerjakan kebaikan sesuai syariat dan akal pikiran. Untuk menjadi pribadi yang berakhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur serta melatih jiwa. Serta mengajak orang lain untuk mengamalkannya (mengerjakan kebaikan) sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (As Syams:9-10)
    Selanjutnya, nahy munkar adalah mencegah jiwa dan yang lainnya dari berbagai macam kemaksiatan dan kemungkaran yang diharamkan oleh syariat dan dan dianggap jelek oleh akal pikiran. Dikarenakan hal tersebut dibenci oleh Allah SWT dan wajib mendapat adzab. Setelah itu manusia diminta untuk senantiasa bersabar atas segala rintangan yang datang menghampiri serta bersabar untuk senantiasa istiqomah dalam mengerjakan kebaikan. Pada akhirnya, tuntutan kepada manusia agar senantiasa bersabar adalah sebuah modal utama untuk menggapai keridhoan Allah SWT. sebagaimana perintah sholat yang dijadikan dasar dalam Islam. Allah SWT berfirman dalam hal ini:
Artinya:
“ Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',” (Al Baqarah : 45)
    Imam Abu Bakar Al Jazairi dalam tafsirnya Aysar Tafaasir al Jazairi menjelaskan hikmah ayat ketujuhbelas dalam surah Luqman di antaranya adalah pertama, kewajiban untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, kewajban untuk melaksanakan perintah sholat dan mengerjakan amr ma’ruf nahy munkar serta diiringi sifat sabar.
    Sedangkan Syaikh Nawawi al Bantani berpendapat bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang wasiat Luqman al Hakim kepada anaknya agar senantiasa mengerjakan sholat sesuai dengan ketentuan-ketentuannya, senantiasa berbuat baik dan mencegah dari perbuatan-perbuatan munkar seperti perkataan dan perbuatan yang tercela. Serta mengiringi hidupnya dengan sifat sabar atas segala masalah dan rintangan yang menghadang, dan janganlah berputus asa dalam menegakkan amr ma’ruf nahy munkar.
Sayyid Quthb mengemukakan mengenai ayat ketujuhbelas dari surah Luqman ini adalah, setelah Luqman al Hakim menanamkan ke dalam anaknya aqidah yang kuat, yaitu beriman kepada Allah SWT dan tanpa sekutu bagi-Nya, setelah itu yakin adanya hari akhirat, dan percaya kepada keadilan balasan Allah SWT yang tidak terlepas dari-Nya walaupun sebesar sebiji sawi. Ia membawa anaknya kepada langkah yang kedua yaitu ber-tawajjuh kepada Allah SWT dengan ibadah sholat dan menghadapi manusia dengan berdawah kepada Allah SWT serta sabar memikul tugas-tugas da’wah dan kesulitannya yang pasti dihadapi. lnilah jalan aqidah yang tersusun iaitu mentauhidkan Allah SWT, menyedari wujudnya pengawasan Allah SWT, meletakkan harapan pada balasan yang disediakan di sisi Allah SWT, percaya kepada keadilan Allah SWT dan takut kepada balasan Allah SWT, kemudian berpindah pula kepada kegiatan berda’wah, yaitu menyeru manusia memperbaiki keadaan diri mereka, menyuruh mereka berbuat kebaikan dan melarang mereka berbuat kemungkaran. Dan sebelum menghadapi perjuangan menentang kejahatan itu, seseorang harus memiliki bekal utama yaitu bekal ibadah kepada Allah SWT, ber-tawajjuh kepada Allah SWT dengan sholat dan sabar menanggung kesulitan yang dialami oleh setiap penda’wah kepada agama Allah SWT, yaitu kesulitan akibat penyelewengan hati manusia, kesulitan akibat dan kelancangan lidah dan dari kejahatan tindak-tanduk manusia, juga kesulitan akibat dan kesukaran materi dan pengorbanan jiwa ketika diperlukan keadaan “Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” Maksud dari الْأُمُورِ عَزْمِ ialah memotong jalan ragu-ragu setelah ditetapkan azam dan dikuatkan tekad.
    Beberapa pendapat mufassir mengenai ayat ketujuh belas dalam surah Luqman memiliki kesepakatan pandangan, mereka umumnya berpendapat, ketika aqidah sudah ditanamkan kepada seorang anak agar senantiasa meyakini keesaan dan kekuasaan Allah SWT dan menjauhkan diri dari sifat syirik, maka dilanjutkan dengan mengetahui beberapa sifat Allah SWT seperti Mahakaya, Mahakuasa dan Mahatahu atas segala tindak-tanduk amal perbuatan manusia. Dilanjutkan dengan proses mendekatkan diri kepada-Nya, yaitu dengan melaksanakan sholat, hal ini merupakan perkara yang sangat penting, karena sholat merupakan dasar dari agama Islam, lebih lanjut, sholat merupakan amal perbuatan pertama yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak, jika baik sholatnya, maka insya Allah baik pula amal perbuatan lainnya.
    Ada sebuah pendapat menarik yang diucapkan Syaikh Ibnul Qayyim al Jauziyyah mengenai sholat. Menurutnya, melalui sholat, Allah SWT ingin menunjukkan kepada manusia, siapa yang menciptkannya dan menunjukinya kepada jalan menuju Allah SWT. Sholat adalah  hadiah dari Allah SWT untuk manusia melalui tangan Rasulullah Saw -manusia yang jujur lagi dapat dipercaya- sebagai rahmat untuk memuliakan manusia agar kembali kepada ketinggian derajat, kehormatan dan nilai kemanusiaannya. Sholat juga berfungsi sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT., bukan karena Allah SWT. membutuhkan kita, namun karena kita membutuhkannya. Dengan sholat pula, Allah SWT. ingin menunjukkan kepada manusia tentang Tuhannya. Sementara itu, anggota tubuh dan hati secara bersamaan diajarkan untuk tunduk dan menyembah kepada penciptanya.
    Menurut Dr. Mukhotim el Moekry, sholat akan membentuk tingkah laku anak menjadi matang. Karena sholat yang diwajibkan Allah SWT sebagai benteng untuk mencegah kenakalan moral. Karena itu, menegakkan sholat memiliki muatan ia mengerjakan amal ibadah sholat sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw. Akan tetapi , ia juga menegakkan apa yang ada di dalam doa sholat. Sholat adalah sebuah Iqror “sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Robbul ‘Alamiin” ini memiliki arti bahwa dengan sholat adalah sebuah kepatuhan hukum Allah SWT (syariah Islam) dalam tata kehidupan.
    Setelah perintah mengerjakan sholat. Luqman al Hakim memerintahkan anaknya anaknya agar menyeru kepada kebaikan dan cegahlah keburukan. Secara langsung Luqman al Hakim memerintahkan kepada anaknya agar berdakwah di jalan Allah SWT. sebuah perintah mulia yang diminta sang ayah kepada anaknya guna mendapat keridhoan-Nya. Perintah berdakwah itu diiringi oleh nasihat agar sang anak senantiasa bersabar dalam berdakwah. Menurut M. Quraish Shihab, semakin bertakwa seseorang, maka semakin besar dan semakin panjang pula tingkat kesabarannya, sehingga yang bersangkutan dapat mencapai satu tingkat kesabaran yang bagaikan tidak terbatas. Sebaliknya, seseorang yang kurang atau tidak bertakwa akan hilang kesabarannya bila ditimpa sedikit bencana, sehingga jangankan kesabaran terbatas, sedikit kesabaran pun tidak dimilikinya.Kesabaran dapat ditumbuhkan sehingga mencapai suatu batas yang mendekati “tidak terbatas”, antara lain dengan menyadari bahwa ujian atau petaka yang sedang dihadapi dapat terjadi dalam bentuk yang lebih besar. Jika ini disadari, ketika itu akan muncul dari lubuk hati yang terdalam rasa syukur atas nikmat-nikmat lain yang selama ini diperoleh sehingga saat itu juga kesabaran bagaikan tidak perlu diperankan lagi.
    Kesabaran yang diperintahkan oleh Luqman al Hakim kepada anaknya agar senantiasa istiqomah dalam menyerukan kebaikan dan mencegah dari kemungkaran seolah menyadarkan bahwa dalam mengemban tugas dakwah, rintangan dan halangan seolah menjadi santapan bagi orang yang menyeru ke jalan kebaikan. Syaikh Muhammad al Ghozali menjelaskan, hal itu dikarenakan oleh banyaknya rintangan dari orang-orang yang melemahkan semangat dan gangguan orang-orang yang membenci dan mencaci. Sejak empat belas abad yang lalu, di tanah Arab telah lahir Muhammad ibn Abdullah Saw. Para pemimpin agama Yahudi dan Nasrani sebenarnya telah mengetahui beritanya, mereka datang menjumpai beliau untuk meyakini kebenaran dakwah dan risalahnya. Mereka tidak memerlukan penjajagan yang bertele-tele, karena dengan segera begitu berjumpa dengan beliau, mereka sudah dapat memastikan bahwa mereka memang benar berhadapan dengan utusan dari Tuhan semesta alam, yang wajib mereka percayai dan bergabung dengannya. Namun mereka menutup jiwa mereka terhadap kebenaran ini, mereka tidak suka dengan pura-pura bodoh, bukan karena bodoh menyebut-nyebutnya, apalagi menyiarkannya.
    Jadi, setelah menanamkan aqidah yang kokoh terhadap anak, maka dilanjutkan dengan mengenalkan kepada mereka mengenai sifat dan kekuasaan Allah SWT. dilanjutkan dengan perintah untuk senantiasa menjalankan sholat sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan agar senantiasa menyeru kepada manusia agar selalu mengerjakan kebaikan, baik itu berupa ucapan maupun perbuatan, serta diiringi sifat sabar serta konsisten dalam menjalankan amr ma’ruf nahy munkar dikarenakan banyaknya cobaan dan rintangan yang akan datang menghadang.
    
F.  PESAN PENDIDIKAN PADA AYAT
 Sebagai sebuah kesimpulan, pesan pendidikan yang terdapat dalam surah Luqman ayat keenambelas dan tujuhbelas adalah:
1.    Tanamkan aqidah yang kuat terhadap anak. Hal ini sangat diperlukan agar anak-anak mampu berbuat kebaikan meskipun hal yang dilakukannya sangat kecil dan mungkin dianggap tidak memiliki arti apa-apa. Akan tetapi, di mata Allah SWT perbuatan baik sekecil apapun akan Allah SWT balas sesuai dengan apa yang kita lakukan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Luqman ayat keenambelas.
2.    Berikan kesadaran kepada akan sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh Allah SWT. seperti Mahakaya, Mahamengetahui dan Mahateliti. Hal tersebut dilakukan agar anak menyadari bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia pasti Allah SWT akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
3.    Perintahkan kepada anak agar senantiasa mengerjakan sholat. Tentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kewajiban-kewajiban yang bertujuan menyempurnakan ibadah sholat anak. Berikan pengetahuan kepada mereka mengenai hal-hal yang berkaitan tentang sholat. Seperti rukun, sunnah, balasan bagi yang senantiasa mengerjakannya serta yang meninggalkannya.
4.    Ajarkan kepada mereka agar berani menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Contohkan kebaikan-kebaikan kepada mereka agar mereka mendapat figur teladan yang nyata dihadapannya. Sinergikan antara perkataan dan perbuatan yang membuat mereka memiliki contoh nyata untuk ditiru. Penyakit terbesar seorang orangtua maupun pendidik adalah tidak menyatunya antara perbuatan yang diperintahkan olehnya dengan tindakan atau perilakunya.
5.    Perintahkan kepada mereka agar mampu bersabar dalam menghadapi ujian kehidupan dalam proses amr ma’ruf nahy munkar. Jelaskan kepada mereka agar menjadi pribadi-pribadi yang tidak mudah putus asa dalam berdakwah. Pahamkan juga bahwa ketika kita menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, maka sudah dapat dipastikan halangan dan rintangan akan datang menerjang. Butuh konsistensi agar dapat menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa. Dan itu adalah kewajiban bagi setiap orang beriman

Referensi :
Abdul Majid, Hussaini Dr, dkk (Ulama Besar Universitas Al Azhar Mesir), Mengasuh Anak Menurut Ajaran Islam, (Pustaka Shadra, Jakarta 2004)
Al Ghozali, Muhammad,Rahasia Hidup Sukses Menurut Islam dan Barat,- terj. (Al Jannah, Jakarta 2004) Cet. I
Al Jauziyyah, Ibnul Qayyim, Rahasia dan Hikmah Dibalik Ibadah Sholat, terj.(Ziyad Visi Media, Solo 2008)
Al Jazairi,  Abu Bakar, Aysar Tafaasir al Jazairi, ( Al Maktabah Al Syamilah, Juz III)
Al Zuhaili, Wahbah ibn Musthofa , Tafsir al Muniir lil Zuhayli (Al Maktabah Al Syamilah, Juz 21)
Ali, Atabik, A. Zuhdi Muhdor, Kamus Arab Kontemporer/ Al Asr  (Multi Karya Grafika, Pondok Krapyak Yogyakarta,  tt) cet IX

Badudu ,J.S. Badudu dan Sultan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996)
Echols, John M, Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris,(PT. Gramedia, Jakarta 2003) Cet. VIII
El Moekry, Mukhotim, Membina Anak Beraqidah Kokoh, (Wahyu Press, Jakarta 2004) Cet. I
Ismail ibn Umar ibn Katsir, Abu Fida , Tafsir Ibnu Katsir, (Al Maktabah Al Syamilah, Juz VI)
Kennedy, Julie, a definition of coaching, (www.kennedy-coaching.com, Germany)
Mujahid, Abu Hajaj, Tafsir Mujahid, (Al Maktabah Al Syamilah, Juz I)
Nawawi al Jawi al Bantani, Muhammad ibn Umar, Marah Labid li Kasyfi Qur’anil Majiid, (Al Maktabah Al Syamilah, Juz II)
Oxford Pocket Dictionary, (Oxford University Press, Oxford 1983)
Pranowo,Sigit , Kisah Luqmanul Hakim dalam Al Qur’an, (www.eramuslim.com), th.
Quraish Shihab, Muhammad, Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama, (Mizan, Bandung 1999) Cet. I
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, ayat-ayat pilihan (E-Book )
Sudibjo,Wisnu, pendidikan anak menurut Al Qur’an, Tafsir Surah Luqman ayat 13-19, (http://wisnusudibjo.wordpress.com/2009/01/24/)
Syamsuddin al Qurtuby, Abu Abdullah, Tafsir al Qurtuby, (Al Maktabah Al Syamilah, Juz 14)

Jumat, 06 Mei 2011

AYAT DALAM AL QUR’AN
Disusun Oleh    : Muhsin
A.    PENDAHULUAN
 Al Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara Malaikat Jibril. Kemukjizatannya sudah teruji tiada tanding, para pujangga, penyair dan sastrawan berlomba-lomba memuji keindahan dan kelebihannya. Keindahannya tidak akan hilang lantaran senantiasa dibaca dan diulang, keajaiban yang tiada terkira juga tidak akan terputus ketika kita mengkajinya. Jika ada seseorang yang hendak mencari pedoman selain darinya, maka sungguh, ia akan tersesat. Ketika seorang muslim membacanya, maka ibadah telah dilakukannya. Tatkala mereka mengamalkannya maka pahala ganjarannya.
Mempelajari Al Qur’an tidak hanya sekedar membaca dan menghafal. Al Qur’an juga memiliki berbagai kemukjizatan melalui isi kandungannya. Dan yang tak kalah menarik adalah mempelajari ilmu dari Al Qur’an itu sendiri. Salah satunya adalah ayat dalam Al Qur’an. Ayat adalah bagian yang tidak akan terpisah dari Al Qur’an, ketika kita membuka lembaran-lembaran mushaf, maka didapatinya susunan ayat yang merupakan kalam Allah SWT  tersusun rapih nan indah. Namun, sudahkah kita tahu pasti apakah definisi dari kata ayat, baik secara bahasa maupun istilah?, sudahkah kita menghitung sendiri jumlah dari keseluruhan ayat di dalam Al Qur’an? dan, sudahkah kita mengetahui pendapat terkuat mengenai ayat pertama dan terakhir yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad Saw?
Beberapa lembaran makalah yang saya tulis ini berisi pendapat-pendapat para ahli Al Qur’an mengenai ayat, juga hasil analisa dari berbagai bacaan mengenai ilmu Al Qur’an, khususnya mengenai ayat. Disamping itu, terdapat juga perhitungan mengenai jumlah ayat yang saya hitung sendiri. Akhirnya, sebuah syair dari Syauqi yang dikutip dari buku Pengantar Studi Al Qur’an (At Tibyan) karangan Muhammad Aly Ash Shabuni menutup pendahuluan dari makalah sederhana ini.
Para Nabi dahulu datang
membawa ayat dan hilang
sedang engkau datang
 membawa kitab abadi
ayat-ayatnya tetap baru
meski masa telah berlalu
dihias dengan
 keindahan asli
 abadi dan murni
<span class="fullpost">
B. DEFINISI AYAT
a)    Secara bahasa (etimologi), dalam Kamus Al Munawwir  (ا لآيَةُ )   berarti  العَلَامَة yang berarti alamat atau tanda . Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ayat terbagi menjadi dua bagian dan beberapa arti. Pertama, ayat (nomina) bermakna 1. Alamat atau tanda, 2. Beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bagian surah di kitab suci Al Qur’an, 3. Beberapa kalimat yang merupakan kesatuan-kesatuan maksud sebagai bagian pasal dalam undang-undang. Kedua, kenyataan yang benar; bukti. ayat kauniyiah; 1. Bukti yang ada di alam nyata atau maujud (seperti bintang, bulan dan matahari). 2. (Pada zaman Nabi Muhammad Saw) keadaan sekeliling Nabi Muhammad Saw atau dalam diri kita masing-masing. Ayat Kitabullah; Bukti yang ada dalam Al Qur’an .   Dalam bahasa Inggris, ayat disebut verse. Oxford Learner’s Pocket Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan verse adalah (noun)1. writing arranged in lines, each having regular pattern. 2. Unit in a poem, 3. One line of verse, 4. Division of a chapter in the bible . (1. Tulisan yang tersusun di dalam sebuah baris/garis dan masing-masing (tulisan tersebut) memiliki pola/bentuk yang beraturan. 2. Bagian dari sebuah puisi, 3. Sebaris ayat, 4. Bagian/divisi dari sebuah surah di dalam al kitab)
Dari berbagai definisi secara bahasa di atas, pemakalah membatasi kata ayat yang dibahas dalam makalah ini adalah kata ayat Al Qur’an.
b)    Sedangkan secara istilah (epistimologi), menurut Syaikh Manna’ Al Qaththan dalam buku Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, ayat adalah  sejumlah kalam Allah SWT yang terdapat dalam suatu surah Al Qur’an.  Sedangkan Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA, mengatakan : jika dikaitkan dengan istilah Al Qur’an, âyah (آيَةٌ) berarti huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Al Qur’an yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nomor ayat.   Prof. Ahmad Thib Raya menyatakan, jika penggunaannya di dalam Al Qur’an dapat disimpulkan bahwa pengertian kata âyah (آيَةٌ) dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci dan Alquran” apabila di dalam ayat itu kata tersebut dikaitkan dengan kata-kata nazala (نَزَلَ = turun) dan kata-kata lain yang seasal dengan itu atau adanya tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama dengan ayat-ayat Al Qur’an. Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh (الله) dan segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat Al Qur’an” dan dapat pula dengan “sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika kata âyah (آيَةٌ) yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn (لـِــقَوْمِ يَتَفَكَّــــرُوْنَ), ya‘qilûn (يَعْقِلُوْنَ), yasma‘ûn (يَسْمَعُوْنَ), yadzdzakkarûn (يَذَّكَّرُوْنَ) atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di dalam Alquran, antara lain dalam QS. Al-Hijr [15]: 77
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.(Q.S. Al Hijr : 77)
    Dari berbagai definisi di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat dalam Al Qur’an adalah sejumlah kalam Allah SWT berupa huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat dalam surah Al Qur’an yang memiliki awal dan akhir berupa nomor ayat.
C. AYAT YANG PERTAMA TURUN
Pendapat yang paling shahih mengenai ayat yang pertama kali turun adalah firman Allah SWT surah Al Alaq ayat 1 sampai 5. Yang berbunyi:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al Alaq: 1-5)
    Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dan Muslim dan lainnya, dari Aisyah yang mengatakan “Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah Saw. Adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau melihat ke dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke Gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kembali ke Khadijah ra. Maka Khadijah pun membekali beliau seperti bekal terdahulu. Lalu, di Gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu seorang malaikat, yang berkata kepada Nabi Saw, “Bacalah!” Rasulullah Saw menceritakan, maka aku pun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Malaikat tersebut kemudian memelukku sehinggga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi, ‘Bacalah!’ Maka aku pun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata, ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka, dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan…’ sampai dengan ‘… apa yang tidak diketahuinya’.      
    Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Surah Al Muddatsir. Ini berdasarkan hadits:
قَالَ ابْن ُ شِهَابٍ  وَاخْبَرَنىِ اَبُو سَلَمَةً  ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ اَنَّ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ  الاَنْصَرِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِى حَدِيْثِهِ بَيْنَا اَناَ اَمْشِى اِذْ سَمِعْتُ صَوْتاً مِنَ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِى فَاِذَ المَلَكُ الَّذِىْ جَاءَنِى بِحِرَاءٍ جَالِـسٌ عَلَى كُرْسِىِّ بَيْنَ السَّمَاءِ   وَالْاَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُوْنِى  زَمِّلُوْنِى  فَاَنْزَلَ  اللَّهُ تَعَالَى يَاَيـُّـهَا الْمُدَّثِّرْ قُمْ  فَاَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ  فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ. 
“Kata Ibnu Syihab, Abu Salamah bin Abdurrahman mengabarkan kepadanya, bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari menceritakan tentang terputusnya wahyu. Katanya pada Nabi Saw. berkata dalam haditsnya: ‘Pada suatu waktu, ketika aku sedang berjalan-jalan, tiba-tiba kedengaran olehku suatu suara dari langit. Maka kuangkat pandanganku ke arah datangnya suara itu. Kelihatan olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira dahulu. Dia duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku terperanjat karenanya dan terus pulang. Aku berkata kepada Khadijah, “selimuti aku!” lalu Allah SWT menurunkan ayat: “Yaa, Ayyuhal Muddatstsir! Qum, Faandzir! Wa Rabbaka fa kabbir! Wa tsiyaabaka fa thahhir! War Rujza Fahjur! (Hai, orang yang berselimut! Bangunlah! Maka berilah peringatan! Dan besarkanlah Tuhanmu! Dan bersihkanlah pakaianmu! Dan jauhilah berhala!)
Maka semenjak itu wahyu selalu turun berturut-turut. (HR. Bukhori)
    Dari redaksi hadits di atas, terdapat sebuah kalimat yang artinya “Kelihatan olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira dahulu,” atas kalimat inilah para ulama berpendapat bahwa Surah Al Alaq lebih awal turunnya dibandingkan dengan Surah Al Muddatstsir.
Syaikh Manna Al Qaththan-pun menjelaskan bahwa kisah tersebut terjadi setelah kisah Gua Hira, atau Al Muddatstsir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir meriwayatkan yang demikian ini dengan ijtihadnya, akan tetapi Aisyah lebih didahulukan. Dengan demikian, maka ayat Al Qur’an yang pertama kali turun secara mutlak adalah Iqra’. Atau, bisa juga dikatakan bahwa surat Al Muddatstsir turun sebagai tanda kerasulannya, sedangkan ayat “Iqra” turun sebagai tanda kenabiannya. Maksudnya adalah, para ulama mengatakan bahwa firman Allah SWT Iqra bismi rabbik itu menunjukkan kenabian Muhammad Saw. Sebab, kenabian itu adalah wahyu kepada seseorang melalui perantaraan malaikat dengan tugas khusus. Sedangkan firman Allah SWT Yaa Ayyuhal Muddatstsir, Qum Fa Andzir, itu menunjukkan kerasulannya, sebab kerasulan itu adalah wahyu kepada seseorang dengan perantaraan malaikat dengan tugas umum.  
    Syaikh Manna Al Qaththan juga mengutip pendapat Az Zarkasyi yang menyebutkan hal mengenai wahyu pertama di dalam kitabnya yang berjudul Al Burhan, dan mengatakan “Hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan hadits Jabir ialah ‘Yaa ayyuhal mudatstsir, qum fa andzir.’ Kemudian ia berkata, ‘Sebagian besar ulama menyatukan keduanya yaitu, bahwa Jabir mendengar Nabi menyatukan kisah permulaan wahyu dan dia mendengar bagian akhirnya, sedang bagian pertamanya dia tidak mendengar. Maka dia (Jabir) menyangka bahwa surat yang didengarnya itu adalah surat yang pertama kali diturunkan, padahal bukan. Memang surah Al Muddatstsir adalah surah yang pertama yang diturunkan setelah Iqra’ dan setelah terhentinya wahyu. 
    Pendapat lain menyatakan, bahwa yang pertama kali turun adalah surah Al Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surah yang pertama kali turun secara lengkap. Dasar dari pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan melalui Abu Ishaq dari Abu Maisarah. Dia berkata, “Adalah Rasulullah Saw apabila mendengar suara, beliau segera berlari. Beliau-pun menyebutkan turunnya malaikat dan perkataannya, ‘Katakanlah; Alhamdulillahi rabbil ‘alamin..  dan seterusnya.” Namun, pendapat ini dibantah oleh Al Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya Al Intishar mengatakan bahwa hadits ini munqathi’. Maka, tetap kuatlah pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbik, dan sesudah itu Yaa Ayyuhal Muddatstsir. Cara menyatukan pendapat-pendapat di atas bahwa yang pertama kali turun itu Iqra’ bismi rabbik, dan ayat mengenai perintah tabligh (untuk menyampaikan) yang pertama kali turun ialah Ya ayyuhal muddatstsir, sedang surat yang pertama kali turun adalah Al Fatihah. 
    Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun adalah Bismillahirrohmaanirrohiim, karena basmalah ikut turun mendahului setiap surat. Dalil-dalil pendapat tersebut adalah hadits-hadits mursal. Pendapat pertama yang didukung oleh hadits Aisyah itulah pendapat yang kuat dan masyhur.
    Dalam kesempatan ini saya juga menukil pendapat Syaikh Manna Al Qaththan dan Muhammad Aly Ash Shabuni mengenai ayat yang pertama diturunkan secara tematik (sehubungan dengan peperangan, makanan dan minuman keras):
1)    Ayat pertama kali turun mengenai peperangan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata; Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai perang adalah surah Al Hajj ayat 39:
 “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (Al Hajj: 39)
Mengenai persoalan peperangan ,telah dikemukakan oleh sejumlah ayat yang cukup banyak. Seluruh ayat yang berhubungan dengan peperangan (qital) tersebut turun pada periode Madaniah. Hal ini karena kaum muslimin para periode Makiah masih lemah. Perjuangan mereka dalam menghadapi musuh hanyalah dengan mulut bukan dengan senjata. Bagi kaum muslimin tidaklah diperkenankan untuk memerangi musuh kecuali setelah hijrah ke Madinah. Setelah mereka merasa kuat dan berjumlah banyak serta mendirikan pemerintahan di Madinah al Munawwarah maka dikala itulah mulai diizinkan berperang. Selanjutnya pada teks ayat tersebut, ada suratan yang menjelaskan hikmah/falsafah tentang syariat diizinkannya berperang, dimana berperang semata-mata sekedar mencegah penganiayaan dan mencegah dari serangan musuh, tidaklah dianjurkan berperang kecuali untuk menolong orang-orang yang teraniaya dan mencegah serangan lawan, sebagaimana diterangkan oleh nash ayat secara jelas. 
2)    Ayat yang pertama kali turun mengenai makanan.
Ayat pertama yang diturunkan sehubungan dengan persoalan makanan tatkala masih di Makkah adalah dalam surah Al An’am
 “ Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(Q.S. Al An’am (6) : 145)
3)    Ayat yang pertama kali turun mengenai minuman keras.
 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Al Baqarah (2) : 219)
Kemudian satu ayat dalam surat An Nisaa’
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa’ (4): 43)
    Dan satu ayat dalam surah Al Maa’idah
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.  Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al Maa’idah (5): 90-91)
    Syaikh Manna Al Qaththan mengutip pernyataan dari Ibnu Umar yang mengatakan, “Telah diturunkan tiga ayat mengenai khamr. Yang pertama; Mereka bertanya kepadamu tentang khamr… Dikatakan kepada mereka; Khamr itu diharamkan. Lalu mereka bertanya; Wahai Rasulullah, biarkan kami memanfaatkannya seperti yang dikatakan Allah SWT. Rasulullah diam. Lalu turun ayat ini; Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk. Selanjutnya dikatakan kepada mereka bahwa khamr itu diharamkan. Tetapi mereka berkata; Wahai Rasulullah, kami tidak akan meminumnya menjelang waktu sholat. Rasulullah pun diam. Lalu turunlah ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr dan berjudi itu…” kemudian Rasulullah Saw bersabda kepada mereka, “khamr sudah diharamkan.”
Itulah beberapa pendapat mengenai ayat yang pertama kali turun, dan pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa ayat yang pertama kali turun adalah ayat 1 (satu) sampai 5 (lima) surat Al Alaq.
D. AYAT YANG TERAKHIR TURUN
    Mohammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya At Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an menulis pendapatnya yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah surah Al Baqarah ayat ke 21 yang berbunyi:
 “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.  (Al Baqarah: 21)
    Menurut beliau, pendapat yang mengatakan akhir dari ayat dalam Al Qur’an adalah surah  Al Baqarah ayat 281 adalah pendapat yang kuat dan benar. Hal ini didasari dari hasil seleksi para ulama yang tokohnya As Sayuthi (dan menyatakan pendapatnya tersebut dalam kitabnya Al Itqan Fi Ulumil Qur’an).  Pendapat ini juga dikutip dari tokoh ummat yaitu Abdullah bin Abbas, bahwasannya ia berkata: “Ayat Al Qur’an yang terakhir diturunkan adalah ayat:
Dan Nabi Saw setelah turun ayat tersebut hanya hidup sembilan hari yang kemudian beliau wafat pada malam senin tanggal 3 Robi’ul Awwal.  Maka itulah ayat terakhir yang diturunkan. Dan dengan turunnya ayat ini maka terputuslah wahyu, dan sekaligus sebagai akhir hubungan antara langit dengan bumi. Setelah turun penutup/yang terakhir ayat Al Qur’an ini, Rasulullah Saw pindah ke pangkuan Yang Maha Agung (wafat) setelah beliau menyampaikan amanat dan risalahnya serta menunjukkan manusia kepada ajaran Allah SWT.
    Adapun sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah surah Al Ma’idah ayat ke tiga yang berbunyi:
 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Al Maa’idah: 3)”
    Alasan beberapa ulama yang berpendapat bahwa ayat di atas adalah ayat terakhir yang diturunkan adalah bahwa Agama Islam telah lengkap dan sempurna. Karena itu mana mungkin masih turun beberapa ayat yang lain? Itulah sebab mereka berpendapat ayat ke tiga dari surah Al Maidah ayat terakhir yang turun.
Namun, Imam As Sayuthi berpendapat:  Allah SWT  telah menyempurnakan ajaran Islam dengan penjelasan berbagai kewajiban dan hokum/ketetapan, penjelasan tentang halal dan haram. Segala hal yang dibutuhkan oleh ummat telah dijelaskan oleh Allah SWT., juga telah diperinci tentang segala hukum-hukumnya, sehingga mereka berada di atas landasan yang jelas. Kesemuanya itu bukan berarti menutup sama sekali kemungkinan masih turunnya ayat-ayat lain yang berhubungan dengan peringatan dan ancaman dari Allah SWT., dan akan adanya gejolak yang maha dahsyat di hadapan Tuhan sebagai penegak hukum Yang Maha Bijaksana. Pada hari tersebut, yaitu suatu hari dimana harta dan anak cucu tidak lagi ada manfaatnya kecuali bagi orang yang menghadap Allah SWT dengan hati yang tulus. Berdasarkan uraian di atas sekelompok ulama telah menegaskan, bahka As Suddy sendiri mengatakan bahwa setelah diturunkan ayat ketiga dari surah Al Maidah, tidak lagi akan turun ayat tentang yang halal dan yang haram. 
Syaikh Manna Al Qaththan juga menjelaskan hal yang sama. Bahwa ayat ketiga dalam surah Al Maaidah menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Para ulama menyatakan kesempurnaan agama di dalam ayat ini. Allah SWT telah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka di rumah suci tanpa disertai oleh seorang musyrik-pun, padahal sebelumnya orang-orang musyrik juga berhaji dengan mereka. Yang demikian termasuk nikmat yang sempurna, “Dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku”. 
Ada lagi yang berpendapat bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat tentang kalalah. Al Bukhari dan Muslim meriwayatan dari Al Barra’ bin Azib, katanya, “ayat yang terakhir kali turun adalah,
 “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah “  (An Nisa’ (4): 176)
Ayat yang turun terakhir menurut hadits Al Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa yang terakhir turun adalah ayat dari surat At Taubah ayat 128 yang artinya, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…” sampai dengan akhir surat. Menurut Ubay bin Ka’ab dalam kitabnya Al Mustadrak mengatakan bahwa mungkin yang dimaksudkan adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surat At-Taubah. 
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang terakhir turun adalah surat Al Imran ayat 195. Yang berbunyi:
 “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…" (Al Imran (3): 195)
Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan ibnu Mardawayh melalui Mujahid, dari Ummu Salamah, dia berkata, “ayat yang terakhir kali turun adalah ayat, “Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka, sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu…” sampai akhir ayat. Sebab wurudnya hadits ini adalah pertanyaan Ummu Salamah, “Wahai Rasulullah, aku melihat Allah menyebutkan kaum laki-laki akan tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan. Maka turunlah ayat, ‘Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (An Nisaa :32) dan turun pula, ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim” (Al Ahzab: 35). Serta ayat ini, ‘Maka Tuham mereka…’ ayat ini adalah ayat terakhir diturunkan dari ketiga ayat di atas. Di dalamnya tidak hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus, tetapi juga menyangkut perempuan.
Dari riwayat itu, jelas bahwa ayat tersebut adalah yang terakhir turun di antara ketiga ayat di atas, juga yang terakhir kali turun dari antara ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kaum perempuan.
Beberapa pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat terakhir dalam Al Qur’an adalah surat An Nisaa ayat 93 dan ada juga yang berpendapat surat An Nasr ayat pertama.
Syaikh Manna Al Qaththan dalam Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an mengemukakan bahwa semua pendapat tersebut tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing hanya ijtihad dan dugaan. Hal yang sama juga dikemukakan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani dalam Al Intishar sebagaimana dikutip oleh Syaikh Manna Al Qaththan, dan mengomentari bahwa pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak disandarkan pada Nabi Saw. Beliau beranggapan bahwa pendapat-pendapat tersebut boleh jadi hanyalah ijtihad atau dugaan saja. Selanjutnya Syaikh Manna Al Qathan mengatakan bahwa mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap. 
Beberapa pendapat di atas menyatakan ayat yang terakhir turun. Namun, jika dilihat dari waktu turunnya ayat dengan akhir hidup Rasulullah Saw, maka pendapat yang mengatakan surat  Al Baqarah ayat 281 menjadi ayat terakhir adalah pendapat terkuat. Mengingat masa hidup Rasulullah Saw di dunia pada saat turunnya ayat ini hanya tersisa 9 (Sembilan) hari.
E. JUMLAH AYAT DAN SEBAB PERBEDAAN HITUNGAN
Dari hasil perhitungan yang dilakukan pemakalah, secara keseluruhan Al Qur’an memiliki 6236 ayat. Dengan perincian terlampir di akhir makalah.
Menurut Syaikh Manna Al Qaththan berjumlah 6200 ayat. Adapun yang lebih daripada itu ada perbedaan pendapat . (Syaikh Manna Al Qaththan, hlm.182). Abu Abdurrahman As-Salmi, salah seorang ulama Kufah, menyebutkan bahwa ayat-ayat Alquran berjumlah 6.236 ayat. Jalaluddin As-Suyuti, seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6.000 ayat. Imam Al-Alusi menyebutkan 6.616 ayat.  ada yang berpendapat Al Qur’an berjumlah 6236 ayat dengan perincian Makkiyyah 4631 ayat dan Madaniyyah 1623 ayat. Sebagian lagi ada yang mengatakan 6218 ayat, bahkan ada pula yang berpendapat 6204 ayat. 
Perbedaan pandangan mereka dalam hal ini tidak disebabkan karena perbedaan mereka menyangkut ayat-ayatnya, tetapi disebabkan oleh perbedaan cara mereka menghitungnya. Apakah basmalah dihitung pada masing-masing setiap surat atau dihitung satu saja. Apakah setiap tempat berhenti merupakan satu ayat atau bagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surat merupakan ayat yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Demikian seterusnya, sehingga timbul perbedaan di kalangan ulama. 
     Ahmad Syauki menulis, walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat, namun tidak akan mempengaruhi bagi isi Al Qur’an itu sendiri, dengan pengertian bahwa ayat Al Qur’an tidak akan pernah bertambah maupun berkurang. Timbulnya perbedaan pendapat dikarenakan sebagian sahabat yang mendengar bacaan Nabi berbeda pendapat tentang waqaf dan washal dari bacaan tersebut. Sebagian sahabat beranggapan bahwa dalam rentetan bacaan tersebut merupakan satu ayat, sedangkan sebagian yang lainnya sudah merupakan dua ayat atau lebih.
F. CARA PENYUSUNAN AYAT
    Ayat-ayat di dalam Al Qur’an, disusun berdasarkan tauqifi dari Rasulullah Saw dan atas perintahnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Syaikh Manna Al Qaththan yang mengutip pendapat-pendapat para ulama seperti Az Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhan dan Abu Ja’far Ibnu Az Zubair dalam Munasabah-nya. Selanjutnya beliau juga mengutip pendapat As Suyuthi yang mengatakan “Ijma, dan nash-nash serupa menegaskan tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi , tanpa diragukan lagi”. Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah Saw dan menunjukkan kepadanya dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan sahabat kepada kita. 
Selanjutnya Syaikh Manna Al Qaththan juga mengutip  perkataan Utsman bin Al ‘Ash yang berkata “Aku tengah duduk di samping Rasulullah Saw, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini ditempat anu dari surat ini, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,(An Nahl ayat 90)’ 
Hal senada juga dinyatakan oleh Prof. Ahmad Thib Raya, beliau menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran yang dimulai dari ayat pertama surat pertama (S. Al-Fatihah) sampai dengan ayat terakhir surat terakhir (S. An-Nas) disusun secara tauqifi, yaitu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Rasulullah Saw, tidak berdasarkan ijtihad para sahabat. Pengelompokan Alquran berdasarkan ayat-ayat mengandung beberapa hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu ialah: (1) untuk memudahkan mengatur hafalan dan mengatur waqaf (berhenti) berdasarkan batas-batas ayat; dan (2) untuk memudahkan penghitungan jumlah ayat yang dibaca pada saat melakukan shalat atau khutbah.
    Lebih lanjut, Muhammad Aly Ash Shabuni mengemukakan kekagumannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an sebagai mukjizat dari Allah SWT kepada Rasulullah Saw. Beliau menulis, Rasulullah Saw. apabila diturunkan Al Qur’an beliau bersabda: “Letakkanlah pada ayat ke sekian ini dari surat anu….” padahal beliau adalah manusia biasa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Ia tidak akan mengerti apa yang akan terjadi di masa mendatang. Ia tidak tahu apa yang bakal timbul akibat kasus yang terjadi, lebih-lebih ayat yang bakal turun dari Allah SWT. Begitulah sepanjang usia masa yang silih berganti, sedangkan Rasulullah Saw. dikala itu menerima wahyu Al Qur’an tahap demi tahap. Setelah masa yang lama ini, Al Qur’an kian sempurna, sistematis, saling berkaitan ayat dengan lainnya, yang sedikitpun tidak ada kekurangan dan kelemahan, bahkan Al Qur’an melebihi tandingan semua makhluk, karena di dalamnya terkandung nilai keserasian dan saling berkaitan satu sama lainnya. Allah SWT berfirman :
 “ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”  (Q.S. Hud (11): 1)
G. KESIMPULAN
    Ayat adalah sejumlah kalam Allah SWT berupa huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat dalam surat Al Qur’an yang memiliki awal dan akhir berupa nomor ayat.
    Berdasarkan pendapat terkuat, ayat pertama yang turun adalah ayat 1 (satu) sampai 5 (lima) surat Al Alaq.
    Jika dilihat dari waktu turunnya ayat dengan masa hidup Rasulullah Saw, maka ayat 281 dari surat Al Baqarah menjadi pendapat terkuat mengenai ayat yang terakhir kali turun. Hal ini disebabkan, setelah turunnya ayat tersebut, usia Rasulullah Saw di dunia hanya tersisa 9 (sembilan) hari.
    Menurut hasil perhitungan pemakalah, jumlah ayat di dalam Al Qur’an sebanyak 6236 ayat.
    Perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat disebabkan oleh perbedaan cara penghitungan. Seperti apakah lafal Basmallah dihitung pada setiap ayat, atau cukup sekali. Dan apakah huruf-huruf hijaiyah dapat menjadi ayat tersendiri atau menyatu dengan ayat sesudahnya.
    Walaupun terdapat perbedaan perhitungan ayat, akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun isi Al Qur’an.
    Penyusunan ayat Al Qur’an berdasarkan tauqifi dari Rasulullah Saw.

Referensi
Aly Ash Shabuny, Muhammad, Pengantar Study Al Qur’an, judul asli At Tibyan Fi Ulumil Qur’an,  terj. Drs. H. Moh. Chudlori Umar dan Drs. Moh. Matsna H.S, PT. Al Ma’arif, Bandung 1987
Al Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, judul asli Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, terj. H. Aunur Rofiq El Manni, Lc. MA, Pustaka Al Kautsar, Jakarta 2010
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, “verse” (Oxford University Press, Oxford 1980
Syauki, Ahmad, Lintasan Sejarah Al Qur’an, PT. RInjen Abadi, Jakarta 2000
Thib Raya, Ahmad, ÂYAH (Ayat, tanda), Ensiklopedi Al Qur’an, www.psq.or.id , 2003
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, edisi ketiga, cetakan keempat, Jakarta 2007
Terjemah Hadits Shohih Bukhori, “Jilid I, Bab Turunnya Wahyu, hadits no. 3”  terj. H. Zainuddin Hamidy, dkk. Pustaka Beta, Jakarta. 1992.
Warson Munawwir, Ahmad, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pondok Pesantren Al Munawwir, Yogyakarta 1984
</span>

Salam

Assalaamu'alaykum
Salam Silaturahim

Alhamdulillah, atas izin Allah SWT diperkenankan diri ini untuk bersilaturrahim dengan rekan-rekan melalui sarana blog ini.
Semoga segala yang ada di dalam blog ini dapat bermanfaat bagi saya dan kita semua.

Wassalam