Selasa, 14 Februari 2012

PERKEMBANGAN ILMU PERBANDINGAN PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
          Keberhasilan pendidikan suatu negara tentu dapat menentukan keberhasilan negara tersebut. Atas dasar itu pulalah, negara-negara yang dapat dikatakan maju tentu menjadi pusat perhatian untuk dilakukan penelitian atas keberhasilan atau kesuksesan negara tersebut. Dan, sebagai faktor kunci keberhasilan suatu negara, pendidikan dari negara-negara yang dianggap maju tentu menjadi primadona penelitian dari negara-negara lain yang ingin mengikuti jejak kemajuannya.
          Dalam proses meningkatkan kemajuan pendidikan tersebut, munculah ide untuk melakukan studi perbandingan atas negara-negara lain, khususnya negara-negara maju. Studi perbandingan dalam dunia pendidikan inilah dikenal dengan nama perbandingan pendidikan.
          Menurut Nicholas Hans, pendidikan perbandingan sebagai sebuah disiplin ilmu terletak pada batasan antara kemanusiaan dan ilmu pengetahuan, ia menyerupai filsafat yang mana menjadi pondasi dari hal tersebut.[1]
          Jika perbandingan pendidikan dapat dikategorikan sebagai perbandingan kebijakan publik atau Comparative Public Policy, dimana menurut Feldman (1978) ; perbandingan kebijakan public adalah suatu metode mempelajari kebijakan publik (meliputi proses kebijakan, hasil kebijakan dan dampak kebijakan) yang dilakukan dengan mengadopsi pendekatan “comparative”. Yaitu membandingkan kebijakan tertentu dengan kebijakan yang lain yang ada di negara tertentu dengan yang ada di negara lain. Heidenheimer, et al., (1990), memberi penegasan yang lebih khusus, dengan menyatakan bahwa perbandingan kebijakan public adalah studi tentang bagaimana, mengapa, dan dampak apa yang ditimbulkan dari adanya tindakan pemerintah dan tidak bertindaknya pemerintah.[2]
          Pada akhirnya, dalam makalah ini penulis menjelaskan perkembangan ilmu perbandingan pendidikan, tokoh-tokoh yang memiliki peran penting atas berkembangnya ilmu perbandingan pendidikan dan manfaat ilmu perbandingan pendidikan bagi dunia pendidikan tanah air.
         

B. Pembahasan
1. Perkembangan Ilmu Perbandingan Pendidikan.

          Keberadaan pendidikan komparatif tak lepas dari keberadaan pendidikan internasional yang dapat dikatakan      sebagai asal muasal ilmu pendidikan komparatif berasal. Kawasan Eropa sudah mengenal pendidikan internasional sejak abad ke 13 masehi, namun masih sebatas ide dan cita-cita. Sejak tahun 1817 cita-cita tersebut mulai terwujud setelah usul Antoine Jullen de Paris disetujui raja Perancis supaya dibentuk komisi yang jangkauan kerjanya bersifat internasional dengan tugas mengumpulkan data pendidikan di berbagai negara melalui metode wawancara dan angket, serta bertugas memberi penerangan pendidikan kepada negara-negara di Eropa. Abad ke 20 muncul Fannie Fern Andrews sebagai perintis pendidikan internasional atas usulnya yang disetujui oleh presiden Amerika Serikat, William Taft, untuk mempertemukan para pemimpin bangsa sehingga tahun 1912 terselenggara “Konfrensi Internasional” di Den Hag. Tahun 1914 berdiri “International Bureau of Education”. Tahun 1926, dibentuk “Comission on Intelectual Coorporation” untuk tingkat pusat dan di setiap negara didirikan “National Comission”, misalnya AS mendirikan “Devision of Cultural Relations”, Prancis membentuk “Ouvres Francaise al’Egrange”. Inggris juga membentuk “The British Council”.
          Sedangkan di kawasan Asia Barat dan Selatan, telah berlangsung pendidikan Internasional di Baghdad (Irak) antara lain telah ada universitas yang bernama ‘Baitul Hikmah’ tahun 830 M dengan kegiatan utama melakukan studi dan menerjemahkan naskah-naskah klasik Yunani karya Plato, Aristoteles, Phitagoras, dan memberi pengajaran bermacam-macam ilmu kepada pelajar yang datang dari banyak penjuru dunia. Bahkan di India jauh sebelumnya pada tahun 600 SM masehi sampai 250 M telah berdiri Universitas Takshlia yang mengkaji dan mengajarkan ilmu Pramesastra, Sansekerta, dan bahasa Persia kepada mahasiswa berasal dari Cina, Tibet, Korea, Srilanka, Jepang dan Indonesia. Di Asia Timur, tepatnya di Cina pada abad VIII telah ada universitas yang didatangi banyak mahasiswa asal Jepang. Dan juga banyak mahasiswa Cina yang belajar di perguruan tinggi di Jepang seperti Daigaku no Kami (Universitas Kerajaan). Kawasan Asia Tenggara, kegiatan pendidikan internasional di prakarsai oleh organisasi negara-negara serumpun bernama ASEAN yang membentuk SEAMEO (South East Asian Ministers of Education Organization)
Dengan semakin meningkatnya aneka upaya pendidikan internasional yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan dunia yang lebih harmonis yang melibatkan ahli-ahli dari banyak negara, maka para ahli menjadi tergerak hatinya untuk mempelajari keadaan negara lain. Mereka terlibat aktif dalam upaya mewujudkan kehidupan dunia yang saling menghargai satu sama lain melalui pendidikan internasional, mereka juga mempelajari negara lain khususnya tentang sistem pendidikan di negara lain tersebut agar bisa diterapkan di negerinya sendiri. Upaya mempelajari sistem pendidikan di negara lain agar diadopsi dan diterapkan di negeri sendiri merupakan bentuk kegiatan pendidikan komparatif.[3]
Perkembangan pendidikan komparatif telah ditandai oleh lima tahap yang berhasil diidentifikasi, dan masing-masing memiliki motif yang berbeda untuk studi banding. Tahap awal adalah periode kisah travelers (wisatawan) yang didorong oleh rasa ingin tahu sederhana. Kedua adalah masa pinjaman pendidikan, ketika keinginan untuk belajar pelajaran yang berguna dari praktek-praktek asing adalah motivasi utama. Ketiga, adanya penekanan terhadap kebijakan kerjasama pendidikan dalam harmoni kepentingan dunia dan perbaikan bersama antara negara-negara. Keempat, tahap mengidentifikasi kekuatan untuk membentuk sistem pendidikan nasional. Dan yang terakhir, adalah tahap penjelasan ilmu sosial, yang menggunakan, metode empiris kuantitatif ekonomi, ilmu politik, dan sosiologi untuk menjelaskan hubungan antara pendidikan dan masyarakat.[4]
          Jika dijabarkan, kelima tahapan tersebut adalah :
1.    Tahap pertama, dapat dikatakan tahap paling primitif. Hal tersebut karena hanyalah kisah yang dibawa pulang oleh wisatawan (Traveller’s Tales) yang berupa laporan yang dapat dikatakan masih amatir dan bersifat umum. Rasa ingin tahu adalah dorongan utama dari perjalanan mereka, namun, hasil pengamatan mereka tidak terdokumentasi secara sistematis. [5]
Menurut Arif Rohman dalam bukunya Pendidikan Komparatif, pada fase ini pendidikan komparatif baru berupa laporan-laporan lisan (oral reports), misalnya tentang laporan tentang sistem pendidikan di negara Yunani dan Romawi, kemudian laporan cerita perjalanan Marco Polo yang menjelajah dunia, kemudian cerita dari Alexis de Tocqueville. Baik Marco Polo maupun Tocqueville keduanya menceritakan tentang pendidikan anak-anak di beberapa negara yang pernah mereka kunjungi.[6]
2.    Tahap kedua. Dari awal abad kesembilan belas, bertepatan dengan munculnya sistem nasional pendidikan di Eropa, perjalanan luar negeri yang dibuat pelancong yang memiliki minat khusus dalam hal pendidikan. Tidak lagi dimotivasi oleh rasa ingin tahu secara umum, mereka pergi berkeliling negara-negara asing dengan tujuan menemukan informasi yang berguna untuk memetakan program pendidikan di negara mereka sendiri. Kelompok ini didominasi politisi pendidikan, ahli dan aktivis. Sering mereka pergi tidak dengan biaya sendiri, atau mengikuti kepentingan pribadi mereka, tapi sebagai utusan yang diangkat pemerintah nasional mereka.[7]
Pada fase ini pula muncul seorang tokoh berkebangsaan Perancis yang bernama Antoine Julie de Paris. Pada tahun 1817 beliau mengusulkan pentingnya pengumpulan data-data secara sistematis melalui observasi dan angket tentang sistem pendidikan di negara lain. Oleh karena itu, Antoine Julie de Paris ini dikenal sebagai bapak perintis pendidikan komparatif sebagai ilmu. Kemudian bermunculan pula tokoh-tokoh lain seperti John Griscom (Amerika Serikat), Victor Cousin (Perancis), Horace Mann (Amerika Serikat), Matthew Arnold (Inggris), dan Michael Sadler (Inggris).[8]
Para tokoh-tokoh tersebut melakukan berbagai upaya dalam mengembangkan pendidikan komparatif. Seperti John Griscom yang mempelajari pendidikan di negara lain dengan cara mengunjungi beberapa negara Eropa kemudian dia tinggal dan hidup disana selama satu tahun. Negara-negara yang pernah diteliti seperti Inggris, Swiss, Italia dan Belanda.  Hasil dari kunjungannya tersebut kemudian dilaporkan dan dikumpulkan menjadi sebuah buku yang berjudul “A Year ini Europe”. Victor Cousin melakukan kunjungan ke Prusia (sekarang dikenal dengan nama Jerman) untuk mempelajari pendidikannya. Hasil kunjungan itu kemudian ditulis dalam sebuah buku berisi laporan pendidikan umum di Prusia yang diberi judul “Education Reports in Prusia”. Horace Mann pada tahun 1844 pernah mengunjungi sebagian negara Eropa selama beberapa bulan dan berhasil mencatat beberapa temuan berkaitan dengan sistem pendidikan di semua negara yang dikunjungi, kemudian hasilnya dikumpulkan dan dituangkan dalam sebuah buku yang diberi judul “Seven Annual Report”. Buku tersebut berisi perbandingan pendidikan antara Jerman, Inggris, Perancis dan Islandia. Matthew Arnold pada tahun 1859 mengunjungi Perancis dan 1865 mengunjungi Jerman. Hasil kunjungan dituangkan dalam suatu telaah tentang sistem pendidikan di kedua negara tesebut yang berjudul “Special Report of Educational Subjects, suatu terbitan yang disusun oleh Dewan Pendidikan Inggris yaitu Board of Education yang saat itu dipimpin oleh Sir Michael Sadler. Sir Michael Sadler sendiri mengunjungi Jerman pada tahun 1894 dan 1895 dengan mengobservasi sekolah-sekolah di Jerman, hasilnya dia tulis dengan judul “How Far can We Learn Anything of Practical Value from The Study of Foreign Systems of Education” . Pada tulisannya tersebut, dia menyangkal dan tidak yakin bahwa aneka komponen atau metode pada sistem pendidikan negara asing dapat dirinci secara terpisah-pisah.[9]
3.    Tahap ketiga. Pada periode ini, pertukaran informasi tentang negara-negara asing dan pendidikan khususnya tentang asing dianggap hanya untuk mendobrak hambatan ketidaktahuan yang dibagi suatu bangsa. Pada tahapan ini pula proses pengumpulan informasi tentang negara-negara asing yang menjadi objek perbandingan disusun secara sistematis. Dalam mempublikasikan informasi, negara-negara asing membutuhkan pertukaran sarjana, mahasiswa dan publikasi. Jaringan yang dihasilkan dari kontak internasional akan dengan sendirinya membantu mempromosikan pemahaman internasional, serta peningkatan sosial, khususnya lembaga pendidikan di seluruh dunia.[10]
Pada fase ini pula banyak ahli yang melakukan studi dan penelitian dengan mengkaji hubungan sekolah dengan masyarakat, diantaranya dilakukan Nicholas Hans. Dia meneliti peran sekolah dalam mengembangkan kebudayaan masyarakat.[11]
4.    Tahap keempat. Bersamaan dengan munculnya ilmu-ilmu sosial menjelang akhir abad kesembilan belas terdengar pengakuan terhadap pentingnya hubungan dinamis merajut pendidikan dan masyarakat. Pendidikan dilihat sebagai cerminan dari sebuah masyarakat. Pada tahap ini, mereka mulai mempertimbangkan kemungkinan menggunakan kesimpulan untuk mengarahkan serta membentuk masa depan masyarakat.[12]
Pada fase ini para ahli banyak melakukan studi tentang modernisasi, yaitu modernisasi masyarakat dan modernisasi pendidikan.[13]
5.    Tahap kelima. Pasca perang dunia kesatu, kemajuan pesat dialami oleh ilmu-ilmu sosial. Ilmu ekonomi dan sosiologi berkembang lebih dahulu, disusul kemudian dengan ilmu politik dan antropologi. Metode penelitian kuantitatif menjadi primadona pada saat itu, tidak hanya digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, akan tetapi di beberapa cabang pendidikan juga menggunakan penelitian tersebut, seperti psikologi dan psikometri.[14]
Menurut Arif Rohman, fase terakhir berlangsung dari tahun 1990-an sampai 2000-an, dimana studi pendidikan komparatif lebih terfokus pada keterkaitan antara pendidikan dengan isu-isu kemanusiaan, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan gender, pemberantasan kemiskinan, dan lain-lain. Dengan demikian kajian studi pendidikan komparatif sudah demikian meluas yang ditulis para ahli. Banyak majalah, jurnal, dan ensiklopedi pendidikan komparatif yang ditulis para ahli.[15] 
Singkatnya, kemudian selama satu abad setengah pendidikan komparatif telah berpindah dari tahap keingintahuan ke tahap analisis. Gerakan ini mungkin bisa dibedakan bersama tiga dimensi: dari data sembarangan berkumpul untuk presisi yang jauh lebih besar, dari filantropi dalam kerjasama pendidikan internasional untuk profesionalisme, dan dari analisis didasarkan pada intuisi terhadap penjelasan ilmiah.[16]  

          2. Tokoh-tokoh yang Memiliki Peran Penting dalam Ilmu Perbandingan Pendidikan.

          Jika diperhatikan beberapa fase perkembangan ilmu perbandingan pendidikan di atas. Maka terdapat nama tokoh-tokoh yang memiliki peran penting dalam penyebaran ilmu perbandingan pendidikan.
1)    Marco Polo dan Alexis de Tocqueville. Kedua nama ini dapat dikategorikan memiliki andil dalam penyebaran ilmu perbandingan pendidikan di awal-awal kemunculannya. Walaupun hasil pengamatan atau laporan-laporan yang mereka masih bersifat lisan (oral reports).
2)    Antoine Jullen de Paris, tokoh berkebangsaan Perancis disebut sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Pendidikan.
3)    John Griscom (Amerika Serikat), Victor Cousin (Perancis), Horace Mann (Amerika Serikat), Matthew Arnold (Inggris), dan Michael Sadler (Inggris). Tokoh-tokoh ini bermunculan setelah Ilmu Perbandingan Pendidikan dirintis secara ilmiah. Sepak terjang mereka dalam mengembangkan Ilmu Perbandingan Pendidikan dapat dilihat pada fase kedua berkembangnya Ilmu Perbandingan Pendidikan di atas.
4)      Isaac Leon Kandel (1881-1965). Tokoh kelahiran Botosani, Rumania yang berasal dari keluarga asal Inggris ini berhasil memperoleh gelar MA di University of Manchester pada tahun 1906 dan mendapatkan gelar Ph.D di Columbia University pada tahun 1910 memiliki kontribusi yang cukup besar dalam Ilmu Perbandingan Pendidikan. Sejarah pendidikan, teori pendidikan dan pendidikan internasional serta perbandingan pendidikan adalah bidang yang ditekuninya. Dalam mengembangkan ilmu perbandingan pendidikan, ia mempelajari beberapa hal dari perkembangan masa keemasan Roma dan Yunani. Kandel juga mengamati munculnya sistem pendidikan lanjutan di Perancis, Jerman, Inggris dan Amerika Serikat. Selain itu, dia juga memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan kaum perempuan.[17]
Berkaitan dengan pendidikan komparatif, Kandel memberikan definisinya dalam bukunya ‘Comparative Education’ yaitu studi tentang teori dan praktek pendidikan pada waktu sekarang yang dipengaruhi oleh bermacam-macam latar belakang dan merupakan kelanjutan dari sejarah pendidikan.[18]
5)    Nama lain yang juga menjadi tokoh perkembangan ilmu perbandingan pendidikan adalah William W. Brickman. Ia adalah pendiri The Comparative and International Education Society. Organisasi ini berawal dari konfrensi tahunan di Universitas New York yang dimulai sejak tahun 1954 dan kumpulan makalah yang berhasil dipresentasikan pada saat itu yang diberi judul “Proceedings of the First Annual Conference on Comparative Education (1954)” telah diklaim oleh Brickman sebagai tolok ukur kelahiran organisasi perbandingan pendidikan ini. Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 27 April 1956 resmilah berdiri The Comparative Education Society (CES) dimana Brickman sendiri menjadi presidennya serta Gerald Read menjadi sekretarisnya. Dan selama enam tahun keberadaannya, organisasi ini berhasil melakukan study tour ke 24 negara di lima benua berbeda, sekaligus meresmikan jurnal baru yang berjudul Comparative Education Review.[19]

  3. Manfaat Pendidikan Perbandingan bagi Dunia Pendidikan Indonesia.

Di Indonesia, sejak zaman reformasi, negara kita perlahan-lahan mulai berbenah, terlebih dalam aspek pendidikan. Ini semua terjadi karena adanya studi perbandingan pendidikan yang dilakukan pemerintah Indonesia. Akibatnya sejak tahun 2000, terjadi beberapa perbaikan dari sistem pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah :
1.    Adanya amandemen undang-undang mengenai pendidikan. Dari sini muncullah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta Undang – Undang Guru dan Dosen.
2.    Adanya penambahan anggaran pendidikan dari APBN. Sehingga keluarlah kebijakan wajib belajar 9 (Sembilan) tahun, atau pendidikan gratis mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Pertama.
3.    Amandemen Undang-Undang SISDIKNAS yang mengatur tentang 8 standar pendidikan.
4.    Adanya perbaikan mutu pendidik (guru/dosen) melalui program sertifikasi guru/dosen.[20]

4. Lahirnya Sebuah Kebijakan Sebagai Dampak dari Perbandingan Pendidikan.
Salah satu dampak positif dari lahirnya ilmu perbandingan pendidikan adalah dapat dirumuskannya atau terlahirnya suatu kebijakan dalam bidang pendidikan di suatu negara. Secara jelas dapat kita lihat pada fase kedua dari sejarah perkembangan ilmu perbandingan pendidikan. Pada fase tersebut, terdapat campur tangan pemerintah untuk mengirim utusan-utusannya ke negara-negara lain dengan tujuan untuk mengamati perkembangan pendidikan di negara tersebut, lalu dapat diambil berbagai macam hal yang bersifat positif dan berguna bagi negara asal si utusan.
Dan ketika kebijakan pendidikan itu telah hadir, maka sumber-sumber yang melandasi lahirnya kebijakan tersebut antara lain dari :
a)    Landasan Ideologis Negara.
b)    Eksekutif, Legislatif dan Pakar LSM, serta
c)    Budaya, Agama, Politik, Ekonomi dan lain-lain.
Landasan ideologis negara memiliki implikasi munculnya tujuan pendidikan negara tersebut. Salah satu contohnya adalah Indonesia dengan Pancasila sebagai landasan ideologisnya. Hal tersebut memberikan dampak bahwa nilai-nilai luhur yang terdapat pada Pancasila untuk ditetapkan sebagai tujuan pendidikan negara.
Eksekutif memiliki peran sebagai regulator pelaksanaan pendidikan di suatu negara dan juga sebagai perumus kebijakan pendidikan dalam sebuah negara, setelah itu muncullah peran legislatif yang fungsinya sebagai legislator dalam membuat undang-undang sebagai paying hukum dari sebuah kebijakan. Peran LSM pendidikan-pun menjadi penting dengan tujuan sebagai pemerhati, dan juga pengkritisi guna memastikan perjalanan sebuah kebijakan yang sesuai dengan koridor yang telah ditetapkan.
Budaya, agama, politik, ekonomi dan lain sebagainya juga memiliki peran yang sangat signifikan sebagai sumber dari kebijakan pendidikan suatu negara. Suatu negara tentu tak ingin kehilangan jati diri berupa lunturnya nilai-nilai budaya yang telah dimilikinya dan terkikis dengan perkembangan waktu. Agama adalah hak bagi setiap manusia. Dengan hak tersebut, kebijakan pendidikan dibuat agar tidak mendeskriminasikan suatu ajaran agama tertentu dalam perjalanan pendidikan di suatu negara. Kebijakan pendidikan juga diharapkan sebagai salah satu wahana yang nantinya akan melahirkan kerukunan di antara sesama pemeluk agama di suatu negara. Bukan hal yang aneh jika konflik kepanjangan yang terjadi atas nama agama dikarenakan adanya pemaksaan suatu agama tertentu yang dengan dominasinya mencoba untuk menekan kelompok agama yang lain (minoritas) hingga akhirnya berujung konflik. Dan pemaksaan-pemaksaan tersebut juga terjadi di dunia pendidikan. Idealnya, kebijakan pendidikan mengakomodir kepentingan semua agama dan sikap arif serta bijaksana para stakeholder kebijakan pendidikan (dalam hal ini eksekutif dan legislatif) dalam merumuskan suatu kebijakan.
Politik juga menjadi salah satu sumber lahirnya suatu kebijakan pendidikan. Berbedanya penguasa pemerintahan suatu negara, dapat berbeda pula kebijakan pendidikan negara tersebut. Salah satu contoh adalah reformasi pendidikan pada masa Jepang Meiji. Kebiksanaan politik dalam bidang pendidikan pada saat itu adalah melakukan reformasi total dari masa sebelumnya, yaitu masa tokugawa. Pada awalnya dilaksanakannya sistem pendidikan yang disebut, gakusei yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Jepang (1872) yang memuat rencana sistem pendidikan secara umum. Sistem pendidikan tersebut diatur dan dilaksanakan seluruhnya oleh Departemen Pendidikan yang sekaligus juga membuat kurikulum dan buku pelajaran berdasarkan buku-buku barat yang diberlakukan sama untuk seluruh Jepang. Dengan pedoman sistem pendidikan barat ini, diadakan pembangunan sekolah dasar sekitar 53.000 buah yang menerapkan sistem pendidikan barat, bagi anak-anak yang berusia 8 tahun hingga 14 tahun. Selain itu dibangun pula sekolah menengah dan universitas-universitas. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem pendidikan tersebut yang seakan dipaksakan oleh pemerintah mengakibatkan pemerintah gagal dalam mewujudkannya. Kegagalan tersebut diakibatkan karena (1) mahalnya biaya pendidikan bagi siswa, dan (2) materi pelajaran yang terlalu tinggi , karena hasil adopsi langsung dari barat, dan tidak sesuai dengan budaya Jepang, serta tidak cocok dengan kebutuhan pendidikan di daerah-daerah. Akibat kegagalan tersebut, timbullah perlawanan dari rakyat terutama di daerah-daerah terhadap kebijakan sistem pendidikan tersebut. Setelah timbul perlawanan rakyat, maka sistem Gakusei –pun diganti dengan sistem baru, yaitu Kyouikurei. Sistem Kyokurei ini agak longgar dibandingkan sistem sebelumnya. Sistem ini memuat aturan untuk menerapkan desentralisasi pendidikan dengan mengizinkan daerah-daerah mendirikan sekolah, dan membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Sistem ini ditiru dari sistem administrasi sekolah Amerika dan dirancang untuk desentralisasi kekuasaan pemerintah dalam dunia pendidikan melalui pengurangan kendali pemerintah pusat. Namun pada dasarnya pengawasan negara dalam bidang pendidikan tidak berubah. Dengan sistem tersebut, sekolah-sekolah yang pada mulanya liberal karena pengaruh barat menjadi konservatif, dengan memberi penekanan pada pendidikan moral berdasarkan konfusianisme.[21]
Di negara kita pun politik masih menjadi sumber yang paling besar dalam merumuskan kebijakan pendidikan. Dapat dipastikan dalam setiap pergantian pemimpin di negeri ini, kebijakan pendidikan-pun mengalami perubahan. Dari zaman penjajahan Belanda, kebijakan pendidikan menjadi hal yang sangat essensial dalam perjalanan hidup bangsa Indonesia. Menurut Dedi Supriadi, kebijakan pernah pendidikan yang diambil pada setiap masa selalu diharapkan pada dua kutub yang berlawanan. Pertama, kebijakan pendidikan elitis. Kebijakan pendidikan elitis adalah kebijakan yang arah dan sasarannya terbatas untuk kepentingan orang-orang yang terbatas, misalnya kaum priyayi. Hal itu diambil karena berbagai macam pertimbangan. Mungkin pertimbangan dana, mungkin aspek teknis pelaksanaan, aspek politis, dan aspek lainnya. Kebijakan tentang sekolah rendah pada masa kolonial, sebagai contoh, lebih diperuntukkan untuk kaum priyayi bukan untuk semua rakyat pribumi (inlander). Kebijakan seperti itulah yang disebut kebijakan elitis. Ketika itu, Belanda tidak mau repot secara teknis operasional mengurus banyak penduduk bumi yang 100% buta huruf. Belanda ketika itu juga tidak mau membelanjakan uang yang banyak untuk itu, meskipun uang itu mereka telah peras dari bumi tumpah darah orang-orang pribumi. Kedua, kebijakan pendidikan populis, yakni kebijakan yang arah dan peruntukannya bagi rakyat banyak. Sebagian orang Belanda di Indonesia saat itupun banyak yang menginginkan adanya kebijakan pendidikan yang populis. Bahkan seorang keturunan Belanda bernama Multatuli sangat geram dengan sikap Belanda yang hanya mengambil kebijakan untuk kaum priyayi. Multatuli mengetahui bahwa kekayaan yang telah diperas dari bumi nusantara sedemikian besarnya. Tetapi masih sangat sedikit yang dikeluarkan untuk mereka. Itulah sebabnya Multatuli menyatakan dengan geram bahwa “Siapa yang tidak dapat memberikan lebih banyak daripada yang ia terima adalah nol besar dan telah lahir dengan sia-sia”. Kritik terhadap kebijakan pendidikan yang elitis, dan ditambah dengan kritik terhadap rencana peringatan Hari Ulang Tahun Ratu Belanda, telah melahirkan kebijakan yang lebih moderat, yakni politik etis, atau politik balas budi. Salah satu pemrakarsa kebijakan seperti itu adalah Van Deventer dengan triloginya (1) irigasi, (2) imigrasi, dan (3) edukasi. Kebijakan pendidikan seperti ini dikenal dengan kebijakan moderat. Namun, konsep yang baik ini tidak sejalan dengan praktik di lapangan. Kebijakan tersebut memiliki latar belakang untuk dapat mengeruk kekayaan lebih besar lagi. Dalam kebijakan edukasi, Belanda akhirnya membuka beberapa sekolah untuk pribumi.[22]
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah kemerdekaan, bangsa ini memiliki perhatian yang lebih dalam dunia pendidikan. Namun, berbagai macam inovasi dalam kebijakan pendidikan tidak serta-merta menuai hasil yang positif.Sebutan Ganti Presiden atau Menteri Ganti Pula Kebijakan membuat para praktisi pendidikan mengalami kebimbangan. Belum tuntas satu kebijakan dijalankan, muncul pula kebijakan yang lain (walaupun di klaim sebagai penyempurnaan). Seperti munculnya kurikulum KTSP sebagai pengganti kurikulum KBK yang bertahan seumur jagung.
Semenjak era reformasi bergulir, pendidikan menjadi perhatian khusus bangsa ini, mulai dari anggaran yang mendapat porsi paling besar dibanding dengan departemen lain di APBN, hingga perhatian masyarakat terhadap pendidikan yang mulai meningkat. Pemerintah juga mulai menata dan memperbaiki kembali sistem pendidikan di Indonesia dengan berbagai kebijakannya. Salah satu kebijakan yang terjadi pada era reformasi adalah dicanangkannya Rencana Strategis atau Renstra Pendidikan Nasional tahun 2006 yang memiliki visi : “terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Adapun misi yang dilakukan untuk merealisasikan visi tersebut adalah : mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia. Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Serta meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global, dan memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.[23]   
Ekonomi menjadi salah satu sumber kebijakan pendidikan didasari bahwa suatu negara maju tentu lebih memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan negaranya. Walaupun, dalam pendahuluan, saya telah menyinggung bahwa suatu negara bisa maju tentu peran besar dari proses maupun sistem pendidikan di sekolah itu. Landasan ekonomi suatu negara menjadi sumber kebijakan pendidikan guna memajukan suatu bangsa dari segi ekonomi. Dengan perekonomian yang baik, tentu suatu negara dapat mengembangkan sarana prasarana pendidikan dan memberikan kesejahteraan kepada para tenaga pendidik dan kependidikan. Dan masyarakat-pun tidak merasa terbebani dengan biaya pendidikan, dalam arti masyarakt berharap semakin banyak peran pemerintah untuk memberikan subsidi guna menciptakan pendidikan berkualitas. Dan pada intinya, semakin maju pendidikan suatu bangsa, semakin bagus pula kondisi perekonomian negara tersebut.

C. Kesimpulan

1.    Asal usul ilmu perbandingan pendidikan berawal dari pendidikan internasional.
2.    Pada fase awal perkembangan ilmu perbandingan pendidikan ditandai dengan masih primitifnya laporan perjalanan yang dilakukan para Traveller’s Tales. Pada fase ini tercatat nama Marco Polo dan Tocqueville.
3.    Antoine Jullen de Paris mencatatkan namanya sebagai bapak pendiri perbandingan pendidikan.
4.    Perkembangan selanjutnya, ilmu perbandingan pendidikan mengalami perkembangan pesat. Perbandingan pendidikan seolah memberikan inspirasi bagi kebijakan pendidikan suatu negara .
5.    Selama satu abad setengah pendidikan komparatif telah berpindah dari tahap keingintahuan ke tahap analisis. Gerakan ini mungkin bisa dibedakan bersama tiga dimensi: dari data sembarangan berkumpul untuk presisi yang jauh lebih besar, dari filantropi dalam kerjasama pendidikan internasional untuk profesionalisme, dan dari analisis didasarkan pada intuisi terhadap penjelasan ilmiah
6.    Tokoh-tokoh yang memiliki peran dalam dunia perbandingan pendidikan antara lain : Marco Polo, Alexis de Tocqueville, Antoine Jullen de Paris, John Griscom, Victor Cousin, Horace Mann, Matthew Arnold, dan Michael Sadler, Isaac L. Kandel dan William W. Brickman.
7.    Dalam merumuskan sebuah kebijakan pendidikan, ada beberapa sumber yang mendasari terciptanya suatu kebijakan pendidikan, diantaranya aspek ideologis suatu negara yang pada akhirnya merumuskan tujuan pendidikan, peran serta eksekutif, legislatif dan LSM. Dan aspek budaya, agama, politik, ekonomi dan lain sebagainya.






























D. Referensi

Agus Salim, Mohammad, Perkembangan Ilmu Perbandingan Pendidikan.


Albab, Ulul, Perbandingan Kebijakan Pendidikan AS-Indonesia (muhlis.wordpress.com/perbandingan-pendidikan/) Bab I Pendahuluan.


Hans, Nicholas , The Historical Approach to Comparative Education, (www.springerlingk.com)


Menuju Ilmu Perbandingan Pendidikan, (muhamadqbl.blogspot.com)


Rohman, Arif, Pendidikan Komparatif : Menuju ke Arah Metode Perbandingan Pendidikan Antar Negara, (Laksbang Grafika, Sleman Yogyakarta 2010) cet I


Rustam, Ferry, Reformasi Pendidikan Pada Masa Jepang Meiji : Studi Tentang Peran Politik Kekuasaan Dalam Penerapan Pendidikan, (Makara, Sosial Humaniora, Vol. 7. No, 2, Desember 2003, www.ui.ac.id)


Sherman Swing, Elizabeth, Comparative and International Education Society, (www.tc.columbia.edu, April 2006)


Sudibyo, Bambang, Prof. DR. MBA.,  Kebijakan Pendidikan Tanpa Diskriminasi, (http://didinsaepudin.blogspot.com/2009/07/kebijakan-pendidikan01.html)


Suparlan, Kebijakan Pendidikan Belajar Dari Kebijakan Tempo Doeloe, (http://didinsaepudin.blogspot.com/2009/07/kebijakan-pendidikan01.html


Wraga, William G., Isaac L. Kandel (1881-1965) – History of Education, Comparative and International Education, Education Theory, (www.education.stateuniversity.com)



[1]  Nicholas Hans, The Historical Approach to Comparative Education, (www.springerlingk.com) h. 1

[2] Ulul Albab, Perbandingan Kebijakan Pendidikan AS-Indonesia (muhlis.wordpress.com/perbandingan-pendidikan/) Bab I Pendahuluan h. 1
[3] Arif Rohman, Pendidikan Komparatif : Menuju ke Arah Metode Perbandingan Pendidikan Antar Negara, (Laksbang Grafika, Sleman Yogyakarta 2010) cet I, h. 34
 
[4] Menuju Ilmu Perbandingan Pendidikan, (muhamadqbl.blogspot.com) h. 1

[5] Ibid

[6] Arif Rohman, Loc.Cit
[7] Menuju Ilmu Perbandingan Pendidikan, Loc.Cit

[8] Arif Rohman, Loc.Cit
[9] Ibid, h. 34-35

[10] Menuju Ilmu Perbandingan Pendidikan, Loc.Cit.

[11] Arif Rohman, Loc.Cit

[12]Menuju Ilmu Perbandingan Pendidikan, Loc.Cit

[13] Arif Rohman, Op.Cit. h. 36
[14] Menuju Ilmu Perbandingan Pendidikan, Loc. Cit

[15] Arif Rohman, Loc.Cit

[16] Ibid,  h. 4
[17] William G. Wraga, Isaac L. Kandel (1881-1965) – History of Education, Comparative and International Education, Education Theory, (www.education.stateuniversity.com) h. 1

[18] Arif Rohman, Op.Cit.  h. 8

[19]  Elizabeth Sherman Swing, Comparative and International Education Society, (www.tc.columbia.edu, April 2006) h. 66
[20]  Mohammad Agus Salim, Perkembangan Ilmu Perbandingan Pendidikan, h. 211
[21] Ferry Rustam, Reformasi Pendidikan Pada Masa Jepang Meiji : Studi Tentang Peran Politik Kekuasaan Dalam Penerapan Pendidikan, (Makara, Sosial Humaniora, Vol. 7. No, 2, Desember 2003, www.ui.ac.id) h. 47
[22] Suparlan, Kebijakan Pendidikan Belajar Dari Kebijakan Tempo Doeloe, (http://didinsaepudin.blogspot.com/2009/07/kebijakan-pendidikan01.html)
[23] Bambang Sudibyo, Kebijakan Pendidikan Tanpa Diskriminasi, (http://didinsaepudin.blogspot.com/2009/07/kebijakan-pendidikan01.html)