Jumat, 06 Mei 2011

AYAT DALAM AL QUR’AN
Disusun Oleh    : Muhsin
A.    PENDAHULUAN
 Al Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara Malaikat Jibril. Kemukjizatannya sudah teruji tiada tanding, para pujangga, penyair dan sastrawan berlomba-lomba memuji keindahan dan kelebihannya. Keindahannya tidak akan hilang lantaran senantiasa dibaca dan diulang, keajaiban yang tiada terkira juga tidak akan terputus ketika kita mengkajinya. Jika ada seseorang yang hendak mencari pedoman selain darinya, maka sungguh, ia akan tersesat. Ketika seorang muslim membacanya, maka ibadah telah dilakukannya. Tatkala mereka mengamalkannya maka pahala ganjarannya.
Mempelajari Al Qur’an tidak hanya sekedar membaca dan menghafal. Al Qur’an juga memiliki berbagai kemukjizatan melalui isi kandungannya. Dan yang tak kalah menarik adalah mempelajari ilmu dari Al Qur’an itu sendiri. Salah satunya adalah ayat dalam Al Qur’an. Ayat adalah bagian yang tidak akan terpisah dari Al Qur’an, ketika kita membuka lembaran-lembaran mushaf, maka didapatinya susunan ayat yang merupakan kalam Allah SWT  tersusun rapih nan indah. Namun, sudahkah kita tahu pasti apakah definisi dari kata ayat, baik secara bahasa maupun istilah?, sudahkah kita menghitung sendiri jumlah dari keseluruhan ayat di dalam Al Qur’an? dan, sudahkah kita mengetahui pendapat terkuat mengenai ayat pertama dan terakhir yang Allah SWT turunkan kepada Nabi Muhammad Saw?
Beberapa lembaran makalah yang saya tulis ini berisi pendapat-pendapat para ahli Al Qur’an mengenai ayat, juga hasil analisa dari berbagai bacaan mengenai ilmu Al Qur’an, khususnya mengenai ayat. Disamping itu, terdapat juga perhitungan mengenai jumlah ayat yang saya hitung sendiri. Akhirnya, sebuah syair dari Syauqi yang dikutip dari buku Pengantar Studi Al Qur’an (At Tibyan) karangan Muhammad Aly Ash Shabuni menutup pendahuluan dari makalah sederhana ini.
Para Nabi dahulu datang
membawa ayat dan hilang
sedang engkau datang
 membawa kitab abadi
ayat-ayatnya tetap baru
meski masa telah berlalu
dihias dengan
 keindahan asli
 abadi dan murni
<span class="fullpost">
B. DEFINISI AYAT
a)    Secara bahasa (etimologi), dalam Kamus Al Munawwir  (ا لآيَةُ )   berarti  العَلَامَة yang berarti alamat atau tanda . Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ayat terbagi menjadi dua bagian dan beberapa arti. Pertama, ayat (nomina) bermakna 1. Alamat atau tanda, 2. Beberapa kalimat yang merupakan kesatuan maksud sebagai bagian surah di kitab suci Al Qur’an, 3. Beberapa kalimat yang merupakan kesatuan-kesatuan maksud sebagai bagian pasal dalam undang-undang. Kedua, kenyataan yang benar; bukti. ayat kauniyiah; 1. Bukti yang ada di alam nyata atau maujud (seperti bintang, bulan dan matahari). 2. (Pada zaman Nabi Muhammad Saw) keadaan sekeliling Nabi Muhammad Saw atau dalam diri kita masing-masing. Ayat Kitabullah; Bukti yang ada dalam Al Qur’an .   Dalam bahasa Inggris, ayat disebut verse. Oxford Learner’s Pocket Dictionary menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan verse adalah (noun)1. writing arranged in lines, each having regular pattern. 2. Unit in a poem, 3. One line of verse, 4. Division of a chapter in the bible . (1. Tulisan yang tersusun di dalam sebuah baris/garis dan masing-masing (tulisan tersebut) memiliki pola/bentuk yang beraturan. 2. Bagian dari sebuah puisi, 3. Sebaris ayat, 4. Bagian/divisi dari sebuah surah di dalam al kitab)
Dari berbagai definisi secara bahasa di atas, pemakalah membatasi kata ayat yang dibahas dalam makalah ini adalah kata ayat Al Qur’an.
b)    Sedangkan secara istilah (epistimologi), menurut Syaikh Manna’ Al Qaththan dalam buku Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, ayat adalah  sejumlah kalam Allah SWT yang terdapat dalam suatu surah Al Qur’an.  Sedangkan Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA, mengatakan : jika dikaitkan dengan istilah Al Qur’an, âyah (آيَةٌ) berarti huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat di dalam surah Al Qur’an yang mempunyai awal dan akhir yang ditandai dengan nomor ayat.   Prof. Ahmad Thib Raya menyatakan, jika penggunaannya di dalam Al Qur’an dapat disimpulkan bahwa pengertian kata âyah (آيَةٌ) dapat diartikan dengan “ayat-ayat yang berkaitan dengan kitab suci dan Alquran” apabila di dalam ayat itu kata tersebut dikaitkan dengan kata-kata nazala (نَزَلَ = turun) dan kata-kata lain yang seasal dengan itu atau adanya tantangan yang ditujukan kepada orang-orang untuk membuat sesuatu yang sama dengan ayat-ayat Al Qur’an. Apabila kata ayat dikaitkan dengan kata Allâh (الله) dan segala kata ganti yang berkaitan dengan-Nya, maka kata itu dapat diartikan dengan dua pengertian, yaitu pertama dengan “ayat-ayat Al Qur’an” dan dapat pula dengan “sesuatu yang menunjuk kepada kebesaran dan kekuasaan Allah”. Jika kata âyah (آيَةٌ) yang dihubungkan dengan ungkapan-ungkapan li qaumin yatafakkarûn (لـِــقَوْمِ يَتَفَكَّــــرُوْنَ), ya‘qilûn (يَعْقِلُوْنَ), yasma‘ûn (يَسْمَعُوْنَ), yadzdzakkarûn (يَذَّكَّرُوْنَ) atau yang semakna dengan itu, maka kata itu diartikan sebagai “tanda-tanda kebesaran Allah Swt”. Ayat dalam pengertian ini cukup banyak diungkapkan di dalam Alquran, antara lain dalam QS. Al-Hijr [15]: 77
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.(Q.S. Al Hijr : 77)
    Dari berbagai definisi di atas, pemakalah menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ayat dalam Al Qur’an adalah sejumlah kalam Allah SWT berupa huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat dalam surah Al Qur’an yang memiliki awal dan akhir berupa nomor ayat.
C. AYAT YANG PERTAMA TURUN
Pendapat yang paling shahih mengenai ayat yang pertama kali turun adalah firman Allah SWT surah Al Alaq ayat 1 sampai 5. Yang berbunyi:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, 5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Al Alaq: 1-5)
    Dasar pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Imam Al Bukhari dan Muslim dan lainnya, dari Aisyah yang mengatakan “Wahyu yang pertama kali dialami oleh Rasulullah Saw. Adalah mimpi yang benar di waktu tidur. Beliau melihat ke dalam mimpi itu datangnya bagaikan terangnya pagi hari. Kemudian beliau suka menyendiri. Beliau pergi ke Gua Hira untuk beribadah beberapa malam. Untuk itu beliau membawa bekal. Kemudian beliau pulang kembali ke Khadijah ra. Maka Khadijah pun membekali beliau seperti bekal terdahulu. Lalu, di Gua Hira datanglah kepada beliau satu kebenaran, yaitu seorang malaikat, yang berkata kepada Nabi Saw, “Bacalah!” Rasulullah Saw menceritakan, maka aku pun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Malaikat tersebut kemudian memelukku sehinggga aku merasa amat payah. Lalu aku dilepaskan, dan dia berkata lagi, ‘Bacalah!’ Maka aku pun menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Lalu dia merangkulku yang kedua kali sampai aku kepayahan. Kemudian dia lepaskan lagi dan berkata, ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka, dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, ‘Bacalah!’ Aku menjawab, ‘Aku tidak bisa membaca.’ Maka dia merangkulku yang ketiga kalinya sehingga aku kepayahan, kemudian dia berkata, ‘Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan…’ sampai dengan ‘… apa yang tidak diketahuinya’.      
    Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat yang pertama kali turun adalah Surah Al Muddatsir. Ini berdasarkan hadits:
قَالَ ابْن ُ شِهَابٍ  وَاخْبَرَنىِ اَبُو سَلَمَةً  ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ اَنَّ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ  الاَنْصَرِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِى حَدِيْثِهِ بَيْنَا اَناَ اَمْشِى اِذْ سَمِعْتُ صَوْتاً مِنَ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِى فَاِذَ المَلَكُ الَّذِىْ جَاءَنِى بِحِرَاءٍ جَالِـسٌ عَلَى كُرْسِىِّ بَيْنَ السَّمَاءِ   وَالْاَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُوْنِى  زَمِّلُوْنِى  فَاَنْزَلَ  اللَّهُ تَعَالَى يَاَيـُّـهَا الْمُدَّثِّرْ قُمْ  فَاَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ  فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ. 
“Kata Ibnu Syihab, Abu Salamah bin Abdurrahman mengabarkan kepadanya, bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari menceritakan tentang terputusnya wahyu. Katanya pada Nabi Saw. berkata dalam haditsnya: ‘Pada suatu waktu, ketika aku sedang berjalan-jalan, tiba-tiba kedengaran olehku suatu suara dari langit. Maka kuangkat pandanganku ke arah datangnya suara itu. Kelihatan olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira dahulu. Dia duduk di kursi antara langit dan bumi. Aku terperanjat karenanya dan terus pulang. Aku berkata kepada Khadijah, “selimuti aku!” lalu Allah SWT menurunkan ayat: “Yaa, Ayyuhal Muddatstsir! Qum, Faandzir! Wa Rabbaka fa kabbir! Wa tsiyaabaka fa thahhir! War Rujza Fahjur! (Hai, orang yang berselimut! Bangunlah! Maka berilah peringatan! Dan besarkanlah Tuhanmu! Dan bersihkanlah pakaianmu! Dan jauhilah berhala!)
Maka semenjak itu wahyu selalu turun berturut-turut. (HR. Bukhori)
    Dari redaksi hadits di atas, terdapat sebuah kalimat yang artinya “Kelihatan olehku malaikat yang pernah datang kepadaku di Gua Hira dahulu,” atas kalimat inilah para ulama berpendapat bahwa Surah Al Alaq lebih awal turunnya dibandingkan dengan Surah Al Muddatstsir.
Syaikh Manna Al Qaththan-pun menjelaskan bahwa kisah tersebut terjadi setelah kisah Gua Hira, atau Al Muddatstsir itu adalah surah pertama yang diturunkan setelah terhentinya wahyu. Jabir meriwayatkan yang demikian ini dengan ijtihadnya, akan tetapi Aisyah lebih didahulukan. Dengan demikian, maka ayat Al Qur’an yang pertama kali turun secara mutlak adalah Iqra’. Atau, bisa juga dikatakan bahwa surat Al Muddatstsir turun sebagai tanda kerasulannya, sedangkan ayat “Iqra” turun sebagai tanda kenabiannya. Maksudnya adalah, para ulama mengatakan bahwa firman Allah SWT Iqra bismi rabbik itu menunjukkan kenabian Muhammad Saw. Sebab, kenabian itu adalah wahyu kepada seseorang melalui perantaraan malaikat dengan tugas khusus. Sedangkan firman Allah SWT Yaa Ayyuhal Muddatstsir, Qum Fa Andzir, itu menunjukkan kerasulannya, sebab kerasulan itu adalah wahyu kepada seseorang dengan perantaraan malaikat dengan tugas umum.  
    Syaikh Manna Al Qaththan juga mengutip pendapat Az Zarkasyi yang menyebutkan hal mengenai wahyu pertama di dalam kitabnya yang berjudul Al Burhan, dan mengatakan “Hadits Aisyah yang menegaskan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan hadits Jabir ialah ‘Yaa ayyuhal mudatstsir, qum fa andzir.’ Kemudian ia berkata, ‘Sebagian besar ulama menyatukan keduanya yaitu, bahwa Jabir mendengar Nabi menyatukan kisah permulaan wahyu dan dia mendengar bagian akhirnya, sedang bagian pertamanya dia tidak mendengar. Maka dia (Jabir) menyangka bahwa surat yang didengarnya itu adalah surat yang pertama kali diturunkan, padahal bukan. Memang surah Al Muddatstsir adalah surah yang pertama yang diturunkan setelah Iqra’ dan setelah terhentinya wahyu. 
    Pendapat lain menyatakan, bahwa yang pertama kali turun adalah surah Al Fatihah. Mungkin yang dimaksudkan adalah surah yang pertama kali turun secara lengkap. Dasar dari pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan melalui Abu Ishaq dari Abu Maisarah. Dia berkata, “Adalah Rasulullah Saw apabila mendengar suara, beliau segera berlari. Beliau-pun menyebutkan turunnya malaikat dan perkataannya, ‘Katakanlah; Alhamdulillahi rabbil ‘alamin..  dan seterusnya.” Namun, pendapat ini dibantah oleh Al Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya Al Intishar mengatakan bahwa hadits ini munqathi’. Maka, tetap kuatlah pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun adalah Iqra’ bismi rabbik, dan sesudah itu Yaa Ayyuhal Muddatstsir. Cara menyatukan pendapat-pendapat di atas bahwa yang pertama kali turun itu Iqra’ bismi rabbik, dan ayat mengenai perintah tabligh (untuk menyampaikan) yang pertama kali turun ialah Ya ayyuhal muddatstsir, sedang surat yang pertama kali turun adalah Al Fatihah. 
    Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang pertama kali turun adalah Bismillahirrohmaanirrohiim, karena basmalah ikut turun mendahului setiap surat. Dalil-dalil pendapat tersebut adalah hadits-hadits mursal. Pendapat pertama yang didukung oleh hadits Aisyah itulah pendapat yang kuat dan masyhur.
    Dalam kesempatan ini saya juga menukil pendapat Syaikh Manna Al Qaththan dan Muhammad Aly Ash Shabuni mengenai ayat yang pertama diturunkan secara tematik (sehubungan dengan peperangan, makanan dan minuman keras):
1)    Ayat pertama kali turun mengenai peperangan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata; Ayat yang pertama kali diturunkan mengenai perang adalah surah Al Hajj ayat 39:
 “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (Al Hajj: 39)
Mengenai persoalan peperangan ,telah dikemukakan oleh sejumlah ayat yang cukup banyak. Seluruh ayat yang berhubungan dengan peperangan (qital) tersebut turun pada periode Madaniah. Hal ini karena kaum muslimin para periode Makiah masih lemah. Perjuangan mereka dalam menghadapi musuh hanyalah dengan mulut bukan dengan senjata. Bagi kaum muslimin tidaklah diperkenankan untuk memerangi musuh kecuali setelah hijrah ke Madinah. Setelah mereka merasa kuat dan berjumlah banyak serta mendirikan pemerintahan di Madinah al Munawwarah maka dikala itulah mulai diizinkan berperang. Selanjutnya pada teks ayat tersebut, ada suratan yang menjelaskan hikmah/falsafah tentang syariat diizinkannya berperang, dimana berperang semata-mata sekedar mencegah penganiayaan dan mencegah dari serangan musuh, tidaklah dianjurkan berperang kecuali untuk menolong orang-orang yang teraniaya dan mencegah serangan lawan, sebagaimana diterangkan oleh nash ayat secara jelas. 
2)    Ayat yang pertama kali turun mengenai makanan.
Ayat pertama yang diturunkan sehubungan dengan persoalan makanan tatkala masih di Makkah adalah dalam surah Al An’am
 “ Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".(Q.S. Al An’am (6) : 145)
3)    Ayat yang pertama kali turun mengenai minuman keras.
 “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Al Baqarah (2) : 219)
Kemudian satu ayat dalam surat An Nisaa’
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (An Nisaa’ (4): 43)
    Dan satu ayat dalam surah Al Maa’idah
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.  Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” (Q.S. Al Maa’idah (5): 90-91)
    Syaikh Manna Al Qaththan mengutip pernyataan dari Ibnu Umar yang mengatakan, “Telah diturunkan tiga ayat mengenai khamr. Yang pertama; Mereka bertanya kepadamu tentang khamr… Dikatakan kepada mereka; Khamr itu diharamkan. Lalu mereka bertanya; Wahai Rasulullah, biarkan kami memanfaatkannya seperti yang dikatakan Allah SWT. Rasulullah diam. Lalu turun ayat ini; Janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk. Selanjutnya dikatakan kepada mereka bahwa khamr itu diharamkan. Tetapi mereka berkata; Wahai Rasulullah, kami tidak akan meminumnya menjelang waktu sholat. Rasulullah pun diam. Lalu turunlah ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr dan berjudi itu…” kemudian Rasulullah Saw bersabda kepada mereka, “khamr sudah diharamkan.”
Itulah beberapa pendapat mengenai ayat yang pertama kali turun, dan pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa ayat yang pertama kali turun adalah ayat 1 (satu) sampai 5 (lima) surat Al Alaq.
D. AYAT YANG TERAKHIR TURUN
    Mohammad Aly Ash Shabuny dalam kitabnya At Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an menulis pendapatnya yang menyatakan bahwa ayat yang terakhir turun adalah surah Al Baqarah ayat ke 21 yang berbunyi:
 “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi Balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”.  (Al Baqarah: 21)
    Menurut beliau, pendapat yang mengatakan akhir dari ayat dalam Al Qur’an adalah surah  Al Baqarah ayat 281 adalah pendapat yang kuat dan benar. Hal ini didasari dari hasil seleksi para ulama yang tokohnya As Sayuthi (dan menyatakan pendapatnya tersebut dalam kitabnya Al Itqan Fi Ulumil Qur’an).  Pendapat ini juga dikutip dari tokoh ummat yaitu Abdullah bin Abbas, bahwasannya ia berkata: “Ayat Al Qur’an yang terakhir diturunkan adalah ayat:
Dan Nabi Saw setelah turun ayat tersebut hanya hidup sembilan hari yang kemudian beliau wafat pada malam senin tanggal 3 Robi’ul Awwal.  Maka itulah ayat terakhir yang diturunkan. Dan dengan turunnya ayat ini maka terputuslah wahyu, dan sekaligus sebagai akhir hubungan antara langit dengan bumi. Setelah turun penutup/yang terakhir ayat Al Qur’an ini, Rasulullah Saw pindah ke pangkuan Yang Maha Agung (wafat) setelah beliau menyampaikan amanat dan risalahnya serta menunjukkan manusia kepada ajaran Allah SWT.
    Adapun sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah surah Al Ma’idah ayat ke tiga yang berbunyi:
 “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. (Al Maa’idah: 3)”
    Alasan beberapa ulama yang berpendapat bahwa ayat di atas adalah ayat terakhir yang diturunkan adalah bahwa Agama Islam telah lengkap dan sempurna. Karena itu mana mungkin masih turun beberapa ayat yang lain? Itulah sebab mereka berpendapat ayat ke tiga dari surah Al Maidah ayat terakhir yang turun.
Namun, Imam As Sayuthi berpendapat:  Allah SWT  telah menyempurnakan ajaran Islam dengan penjelasan berbagai kewajiban dan hokum/ketetapan, penjelasan tentang halal dan haram. Segala hal yang dibutuhkan oleh ummat telah dijelaskan oleh Allah SWT., juga telah diperinci tentang segala hukum-hukumnya, sehingga mereka berada di atas landasan yang jelas. Kesemuanya itu bukan berarti menutup sama sekali kemungkinan masih turunnya ayat-ayat lain yang berhubungan dengan peringatan dan ancaman dari Allah SWT., dan akan adanya gejolak yang maha dahsyat di hadapan Tuhan sebagai penegak hukum Yang Maha Bijaksana. Pada hari tersebut, yaitu suatu hari dimana harta dan anak cucu tidak lagi ada manfaatnya kecuali bagi orang yang menghadap Allah SWT dengan hati yang tulus. Berdasarkan uraian di atas sekelompok ulama telah menegaskan, bahka As Suddy sendiri mengatakan bahwa setelah diturunkan ayat ketiga dari surah Al Maidah, tidak lagi akan turun ayat tentang yang halal dan yang haram. 
Syaikh Manna Al Qaththan juga menjelaskan hal yang sama. Bahwa ayat ketiga dalam surah Al Maaidah menunjukkan penyempurnaan kewajiban dan hukum. Para ulama menyatakan kesempurnaan agama di dalam ayat ini. Allah SWT telah mencukupkan nikmat-Nya kepada mereka dengan menempatkan mereka di negeri suci dan membersihkan orang-orang musyrik daripadanya serta menghajikan mereka di rumah suci tanpa disertai oleh seorang musyrik-pun, padahal sebelumnya orang-orang musyrik juga berhaji dengan mereka. Yang demikian termasuk nikmat yang sempurna, “Dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku”. 
Ada lagi yang berpendapat bahwa yang terakhir kali diturunkan adalah ayat tentang kalalah. Al Bukhari dan Muslim meriwayatan dari Al Barra’ bin Azib, katanya, “ayat yang terakhir kali turun adalah,
 “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[387]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah “  (An Nisa’ (4): 176)
Ayat yang turun terakhir menurut hadits Al Barra’ ini adalah berhubungan dengan masalah warisan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa yang terakhir turun adalah ayat dari surat At Taubah ayat 128 yang artinya, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri…” sampai dengan akhir surat. Menurut Ubay bin Ka’ab dalam kitabnya Al Mustadrak mengatakan bahwa mungkin yang dimaksudkan adalah ayat terakhir yang diturunkan dari surat At-Taubah. 
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa yang terakhir turun adalah surat Al Imran ayat 195. Yang berbunyi:
 “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…" (Al Imran (3): 195)
Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan ibnu Mardawayh melalui Mujahid, dari Ummu Salamah, dia berkata, “ayat yang terakhir kali turun adalah ayat, “Maka Tuhan memperkenankan permohonan mereka, sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kaummu…” sampai akhir ayat. Sebab wurudnya hadits ini adalah pertanyaan Ummu Salamah, “Wahai Rasulullah, aku melihat Allah menyebutkan kaum laki-laki akan tetapi tidak menyebutkan kaum perempuan. Maka turunlah ayat, ‘Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (An Nisaa :32) dan turun pula, ‘Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim” (Al Ahzab: 35). Serta ayat ini, ‘Maka Tuham mereka…’ ayat ini adalah ayat terakhir diturunkan dari ketiga ayat di atas. Di dalamnya tidak hanya disebutkan kaum lelaki secara khusus, tetapi juga menyangkut perempuan.
Dari riwayat itu, jelas bahwa ayat tersebut adalah yang terakhir turun di antara ketiga ayat di atas, juga yang terakhir kali turun dari antara ayat-ayat yang di dalamnya disebutkan kaum perempuan.
Beberapa pendapat lain yang mengatakan bahwa ayat terakhir dalam Al Qur’an adalah surat An Nisaa ayat 93 dan ada juga yang berpendapat surat An Nasr ayat pertama.
Syaikh Manna Al Qaththan dalam Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an mengemukakan bahwa semua pendapat tersebut tidak disandarkan kepada Nabi. Masing-masing hanya ijtihad dan dugaan. Hal yang sama juga dikemukakan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani dalam Al Intishar sebagaimana dikutip oleh Syaikh Manna Al Qaththan, dan mengomentari bahwa pendapat-pendapat tersebut sama sekali tidak disandarkan pada Nabi Saw. Beliau beranggapan bahwa pendapat-pendapat tersebut boleh jadi hanyalah ijtihad atau dugaan saja. Selanjutnya Syaikh Manna Al Qathan mengatakan bahwa mungkin pula bahwa masing-masing mereka itu memberitahukan apa yang terakhir didengarnya dari Rasulullah. Atau mungkin juga masing-masing mengatakan hal itu berdasarkan apa yang terakhir diturunkan dalam hal perundang-undangan tertentu, atau dalam hal surat terakhir yang diturunkan secara lengkap. 
Beberapa pendapat di atas menyatakan ayat yang terakhir turun. Namun, jika dilihat dari waktu turunnya ayat dengan akhir hidup Rasulullah Saw, maka pendapat yang mengatakan surat  Al Baqarah ayat 281 menjadi ayat terakhir adalah pendapat terkuat. Mengingat masa hidup Rasulullah Saw di dunia pada saat turunnya ayat ini hanya tersisa 9 (Sembilan) hari.
E. JUMLAH AYAT DAN SEBAB PERBEDAAN HITUNGAN
Dari hasil perhitungan yang dilakukan pemakalah, secara keseluruhan Al Qur’an memiliki 6236 ayat. Dengan perincian terlampir di akhir makalah.
Menurut Syaikh Manna Al Qaththan berjumlah 6200 ayat. Adapun yang lebih daripada itu ada perbedaan pendapat . (Syaikh Manna Al Qaththan, hlm.182). Abu Abdurrahman As-Salmi, salah seorang ulama Kufah, menyebutkan bahwa ayat-ayat Alquran berjumlah 6.236 ayat. Jalaluddin As-Suyuti, seorang ulama tafsir dan fiqh, menyebutkan 6.000 ayat. Imam Al-Alusi menyebutkan 6.616 ayat.  ada yang berpendapat Al Qur’an berjumlah 6236 ayat dengan perincian Makkiyyah 4631 ayat dan Madaniyyah 1623 ayat. Sebagian lagi ada yang mengatakan 6218 ayat, bahkan ada pula yang berpendapat 6204 ayat. 
Perbedaan pandangan mereka dalam hal ini tidak disebabkan karena perbedaan mereka menyangkut ayat-ayatnya, tetapi disebabkan oleh perbedaan cara mereka menghitungnya. Apakah basmalah dihitung pada masing-masing setiap surat atau dihitung satu saja. Apakah setiap tempat berhenti merupakan satu ayat atau bagian dari ayat. Apakah huruf-huruf hijaiyah pada awal surat merupakan ayat yang berdiri sendiri atau digabung dengan ayat sesudahnya. Demikian seterusnya, sehingga timbul perbedaan di kalangan ulama. 
     Ahmad Syauki menulis, walaupun terjadi perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat, namun tidak akan mempengaruhi bagi isi Al Qur’an itu sendiri, dengan pengertian bahwa ayat Al Qur’an tidak akan pernah bertambah maupun berkurang. Timbulnya perbedaan pendapat dikarenakan sebagian sahabat yang mendengar bacaan Nabi berbeda pendapat tentang waqaf dan washal dari bacaan tersebut. Sebagian sahabat beranggapan bahwa dalam rentetan bacaan tersebut merupakan satu ayat, sedangkan sebagian yang lainnya sudah merupakan dua ayat atau lebih.
F. CARA PENYUSUNAN AYAT
    Ayat-ayat di dalam Al Qur’an, disusun berdasarkan tauqifi dari Rasulullah Saw dan atas perintahnya. Hal tersebut dikemukakan oleh Syaikh Manna Al Qaththan yang mengutip pendapat-pendapat para ulama seperti Az Zarkasyi dalam kitabnya Al Burhan dan Abu Ja’far Ibnu Az Zubair dalam Munasabah-nya. Selanjutnya beliau juga mengutip pendapat As Suyuthi yang mengatakan “Ijma, dan nash-nash serupa menegaskan tertib ayat-ayat itu adalah tauqifi , tanpa diragukan lagi”. Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah Saw dan menunjukkan kepadanya dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah Saw memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau bersabda kepada mereka, “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini, atau letakkanlah ayat ini di tempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut adalah sebagaimana yang disampaikan sahabat kepada kita. 
Selanjutnya Syaikh Manna Al Qaththan juga mengutip  perkataan Utsman bin Al ‘Ash yang berkata “Aku tengah duduk di samping Rasulullah Saw, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini ditempat anu dari surat ini, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat,(An Nahl ayat 90)’ 
Hal senada juga dinyatakan oleh Prof. Ahmad Thib Raya, beliau menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran yang dimulai dari ayat pertama surat pertama (S. Al-Fatihah) sampai dengan ayat terakhir surat terakhir (S. An-Nas) disusun secara tauqifi, yaitu berdasarkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Allah dan Rasulullah Saw, tidak berdasarkan ijtihad para sahabat. Pengelompokan Alquran berdasarkan ayat-ayat mengandung beberapa hikmah. Di antara hikmah-hikmah itu ialah: (1) untuk memudahkan mengatur hafalan dan mengatur waqaf (berhenti) berdasarkan batas-batas ayat; dan (2) untuk memudahkan penghitungan jumlah ayat yang dibaca pada saat melakukan shalat atau khutbah.
    Lebih lanjut, Muhammad Aly Ash Shabuni mengemukakan kekagumannya terhadap ayat-ayat Al Qur’an sebagai mukjizat dari Allah SWT kepada Rasulullah Saw. Beliau menulis, Rasulullah Saw. apabila diturunkan Al Qur’an beliau bersabda: “Letakkanlah pada ayat ke sekian ini dari surat anu….” padahal beliau adalah manusia biasa. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Ia tidak akan mengerti apa yang akan terjadi di masa mendatang. Ia tidak tahu apa yang bakal timbul akibat kasus yang terjadi, lebih-lebih ayat yang bakal turun dari Allah SWT. Begitulah sepanjang usia masa yang silih berganti, sedangkan Rasulullah Saw. dikala itu menerima wahyu Al Qur’an tahap demi tahap. Setelah masa yang lama ini, Al Qur’an kian sempurna, sistematis, saling berkaitan ayat dengan lainnya, yang sedikitpun tidak ada kekurangan dan kelemahan, bahkan Al Qur’an melebihi tandingan semua makhluk, karena di dalamnya terkandung nilai keserasian dan saling berkaitan satu sama lainnya. Allah SWT berfirman :
 “ Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu”  (Q.S. Hud (11): 1)
G. KESIMPULAN
    Ayat adalah sejumlah kalam Allah SWT berupa huruf-huruf hijaiyah atau sekelompok kata yang terdapat dalam surat Al Qur’an yang memiliki awal dan akhir berupa nomor ayat.
    Berdasarkan pendapat terkuat, ayat pertama yang turun adalah ayat 1 (satu) sampai 5 (lima) surat Al Alaq.
    Jika dilihat dari waktu turunnya ayat dengan masa hidup Rasulullah Saw, maka ayat 281 dari surat Al Baqarah menjadi pendapat terkuat mengenai ayat yang terakhir kali turun. Hal ini disebabkan, setelah turunnya ayat tersebut, usia Rasulullah Saw di dunia hanya tersisa 9 (sembilan) hari.
    Menurut hasil perhitungan pemakalah, jumlah ayat di dalam Al Qur’an sebanyak 6236 ayat.
    Perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat disebabkan oleh perbedaan cara penghitungan. Seperti apakah lafal Basmallah dihitung pada setiap ayat, atau cukup sekali. Dan apakah huruf-huruf hijaiyah dapat menjadi ayat tersendiri atau menyatu dengan ayat sesudahnya.
    Walaupun terdapat perbedaan perhitungan ayat, akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun isi Al Qur’an.
    Penyusunan ayat Al Qur’an berdasarkan tauqifi dari Rasulullah Saw.

Referensi
Aly Ash Shabuny, Muhammad, Pengantar Study Al Qur’an, judul asli At Tibyan Fi Ulumil Qur’an,  terj. Drs. H. Moh. Chudlori Umar dan Drs. Moh. Matsna H.S, PT. Al Ma’arif, Bandung 1987
Al Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, judul asli Mabahits fii ‘Ulumil Qur’an, terj. H. Aunur Rofiq El Manni, Lc. MA, Pustaka Al Kautsar, Jakarta 2010
Oxford Learner’s Pocket Dictionary, “verse” (Oxford University Press, Oxford 1980
Syauki, Ahmad, Lintasan Sejarah Al Qur’an, PT. RInjen Abadi, Jakarta 2000
Thib Raya, Ahmad, ÂYAH (Ayat, tanda), Ensiklopedi Al Qur’an, www.psq.or.id , 2003
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, edisi ketiga, cetakan keempat, Jakarta 2007
Terjemah Hadits Shohih Bukhori, “Jilid I, Bab Turunnya Wahyu, hadits no. 3”  terj. H. Zainuddin Hamidy, dkk. Pustaka Beta, Jakarta. 1992.
Warson Munawwir, Ahmad, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Pondok Pesantren Al Munawwir, Yogyakarta 1984
</span>

0 komentar:

Posting Komentar